Mohon tunggu...
Muhammad Muhajir
Muhammad Muhajir Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Dosen Agama Islam Universitas Brawijaya Malang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Di Balik Topeng Agama: Radikalisme dan Kekuasaan

21 September 2024   14:15 Diperbarui: 21 September 2024   14:16 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: sutrisnobudiharto.net


Radikalisme bukanlah fenomena baru. Di dunia yang terus berkembang ini, ia hadir dengan wajah yang lebih kompleks dan penuh lapisan, melibatkan isu agama, politik, dan sosial. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Syekh Usamah Said Al Azhari dalam Al-Haqqul Mubin, radikalisme seringkali lebih bersifat politis daripada religius. Ini adalah upaya dari kelompok atau individu untuk mencapai tujuan politik melalui cara-cara agresif dengan memanfaatkan agama sebagai alat legitimasi. Agama, dalam banyak kasus, hanya menjadi selubung moral yang membungkus kepentingan duniawi.

Namun, radikalisme tidak hanya ditemukan dalam satu agama atau komunitas tertentu. Radikalisme, ekstremisme, dan terorisme telah mengakar dalam berbagai tradisi keagamaan di seluruh dunia. Dalam analisis yang lebih mendalam, kita perlu menyoroti bagaimana radikalisme muncul, apa tujuannya, dan bagaimana cara kita memahami fenomena ini agar dapat melawannya secara efektif.

Akar Radikalisme: Politisasi Agama

Radikalisme sering kali muncul dari keresahan sosial dan politik yang meluas. Di tengah kondisi ketidakadilan, ketidaksetaraan, atau tekanan politik, banyak kelompok radikal menemukan momentum untuk merekrut pengikut. Mereka memanfaatkan kondisi ini dengan menawarkan "solusi cepat" melalui ideologi yang berfokus pada perubahan radikal, sering kali dengan menggunakan kekerasan sebagai alat untuk mencapai tujuan.

Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Usamah Said Al Azhari, radikalisme tidak hanya hadir dalam bentuk interpretasi ekstrem agama, tetapi juga terfokus pada pencapaian tujuan politik yang belum waktunya. Dalam hal ini, agama tidak lebih dari alat yang digunakan untuk memberikan legitimasi kepada tindakan mereka.

Di Indonesia, gerakan radikal yang tergabung dalam berbagai organisasi teror, seperti Jamaah Islamiyah atau ISIS, misalnya, tidak sekadar berfokus pada ajaran Islam tetapi lebih pada ambisi untuk menguasai negara secara politik. Mereka ingin mendirikan negara agama di mana hukum mereka akan memaksa semua orang untuk tunduk pada interpretasi tunggal.

Namun, ini bukanlah fenomena unik bagi Islam. Di banyak negara lain, radikalisme muncul dalam agama mayoritas setempat. Di India, misalnya, gerakan Hindu radikal seperti Hindutva menggunakan agama Hindu sebagai justifikasi untuk melakukan diskriminasi terhadap minoritas Muslim. Demikian pula, di Myanmar, kelompok Buddha ekstremis, yang dipimpin oleh tokoh seperti Ashin Wirathu, menggunakan agama Buddha untuk melakukan kekerasan terhadap Muslim Rohingya.

Dalam konteks global, di Amerika Latin dan Irlandia Utara, radikalisme Kristen, baik dari Katolik maupun Protestan, telah menciptakan kekerasan yang memakan korban jiwa. Semua ini menunjukkan bahwa radikalisme tidak memiliki agama tertentu, melainkan memanfaatkan agama sebagai kendaraan untuk mencapai kekuasaan politik.

Politisasi Simbol Agama dan Rekayasa Identitas

Mengapa agama menjadi alat yang begitu kuat bagi kelompok radikal? Jawabannya terletak pada sifat agama itu sendiri, yang menawarkan keyakinan moral absolut dan narasi akhirat yang menjanjikan. Agama mengajarkan tentang kemartiran, pengorbanan, dan keyakinan mesianik bahwa pada akhir zaman, agama yang benar akan menang. Kelompok radikal memanipulasi keyakinan ini untuk mempengaruhi pengikut mereka. Dengan mengidentifikasi perjuangan mereka sebagai bagian dari "pertempuran ilahi," mereka melegitimasi kekerasan dan menarik simpati dari masyarakat yang merasa bahwa agama mereka terancam.

Contohnya adalah kelompok-kelompok radikal yang menggunakan nama-nama seperti "Islamic State" atau "Jamaah Anshori Syariah" untuk menciptakan kesan bahwa perjuangan mereka adalah perjuangan Islam, padahal sebenarnya mereka adalah kelompok politik dengan kepentingan duniawi. Begitu pula di negara-negara mayoritas Kristen, kelompok supremasi kulit putih di Amerika Serikat atau organisasi evangelis garis keras, yang menggunakan retorika agama untuk mendukung kebijakan rasis atau otoriter. Mereka memanipulasi narasi agama untuk menginspirasi ketakutan dan kebencian terhadap minoritas.

Radikalisme sebagai Fenomena Politik, Bukan Keagamaan

Penting untuk disadari bahwa radikalisme, ekstremisme, dan terorisme bukanlah fenomena yang berakar pada agama itu sendiri, melainkan pada cara agama dipolitisasi oleh kelompok-kelompok dengan ambisi kekuasaan. Hal ini terbukti dalam sejarah panjang peradaban manusia. Seperti yang dicatat dalam Islam, bahkan pada masa Nabi Muhammad, ada tokoh-tokoh seperti Zul Huwaishira yang menuduh Nabi tidak adil dan memulai gerakan radikal yang akhirnya dikenal sebagai Khawarij. Sejarah ini terus berlanjut pada masa pemerintahan Sayyidina Ali, ketika kelompok radikal muncul kembali dengan tujuan menggulingkan pemerintahan yang sah.

Dalam tradisi Kristen, Yahudi, Hindu, dan Buddha, kita juga melihat pola yang sama. Kelompok-kelompok radikal memanfaatkan narasi-narasi eskatologis (akhir zaman) untuk membenarkan kekerasan, dan mereka menunggangi agama untuk mempengaruhi pengikut agar mendukung tindakan mereka.

Bagaimana Menghadapi Radikalisme?

Untuk melawan radikalisme, kita harus memahami bahwa inti dari gerakan ini adalah manipulasi agama untuk tujuan politik. Upaya untuk memerangi radikalisme tidak dapat dilakukan dengan menyerang agama atau pemeluknya, melainkan dengan memisahkan agama dari politisasi yang tidak bertanggung jawab. Di Indonesia, misalnya, Densus 88 menangkap teroris bukan karena mereka Muslim, tetapi karena mereka terlibat dalam aksi teror. Demikian juga, negara-negara lain menghadapi radikalisme agama dengan fokus pada tindakan kriminal yang dilakukan oleh kelompok radikal, bukan keyakinan agama mereka.

Strategi melawan radikalisme harus melibatkan pendekatan yang lebih holistik. Pertama, Pendidikan dan Literasi Agama. Penting untuk memberikan pemahaman agama yang benar kepada masyarakat, terutama generasi muda. Agama harus dipandang sebagai sumber nilai-nilai kemanusiaan, cinta, dan kedamaian, bukan alat untuk menciptakan kebencian dan konflik.

Kedua, Peningkatan Kesejahteraan Sosial. Radikalisme sering kali berakar pada ketidakpuasan sosial. Oleh karena itu, langkah-langkah untuk meningkatkan kesejahteraan, mengurangi ketidakadilan, dan memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik yang sehat adalah penting.

Ketiga, Dialog Antaragama. Menggalakkan dialog antaragama untuk memperkuat pemahaman bersama tentang nilai-nilai universal seperti perdamaian, toleransi, dan keadilan dapat membantu mencegah radikalisme yang didasarkan pada prasangka terhadap agama lain.

Keempat, Penegakan Hukum yang Tegas. Tindakan hukum terhadap kelompok radikal harus didasarkan pada tindakan kriminal mereka, bukan pada keyakinan agama. Ini akan menunjukkan bahwa negara tidak anti-agama tetapi anti-kekerasan dan ketidakadilan.

Kesimpulan: Agama untuk Kemanusiaan, Bukan Kekuasaan

Radikalisme harus dilihat sebagai fenomena politik, bukan fenomena keagamaan. Dengan memahami bagaimana agama dipolitisasi oleh kelompok-kelompok dengan ambisi kekuasaan, kita bisa melawan radikalisme secara efektif. Agama harus dikembalikan pada perannya sebagai sumber kedamaian dan kemanusiaan, bukan sebagai alat untuk meraih kekuasaan.

Dalam masyarakat modern yang multikultural dan plural, tantangan terbesar adalah bagaimana mempertahankan kesatuan dalam keragaman tanpa jatuh ke dalam jebakan radikalisme dan ekstremisme. Mari kita terus memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang sejalan dengan ajaran agama sejati: cinta, kedamaian, dan keadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun