Radikalisme sebagai Fenomena Politik, Bukan Keagamaan
Penting untuk disadari bahwa radikalisme, ekstremisme, dan terorisme bukanlah fenomena yang berakar pada agama itu sendiri, melainkan pada cara agama dipolitisasi oleh kelompok-kelompok dengan ambisi kekuasaan. Hal ini terbukti dalam sejarah panjang peradaban manusia. Seperti yang dicatat dalam Islam, bahkan pada masa Nabi Muhammad, ada tokoh-tokoh seperti Zul Huwaishira yang menuduh Nabi tidak adil dan memulai gerakan radikal yang akhirnya dikenal sebagai Khawarij. Sejarah ini terus berlanjut pada masa pemerintahan Sayyidina Ali, ketika kelompok radikal muncul kembali dengan tujuan menggulingkan pemerintahan yang sah.
Dalam tradisi Kristen, Yahudi, Hindu, dan Buddha, kita juga melihat pola yang sama. Kelompok-kelompok radikal memanfaatkan narasi-narasi eskatologis (akhir zaman) untuk membenarkan kekerasan, dan mereka menunggangi agama untuk mempengaruhi pengikut agar mendukung tindakan mereka.
Bagaimana Menghadapi Radikalisme?
Untuk melawan radikalisme, kita harus memahami bahwa inti dari gerakan ini adalah manipulasi agama untuk tujuan politik. Upaya untuk memerangi radikalisme tidak dapat dilakukan dengan menyerang agama atau pemeluknya, melainkan dengan memisahkan agama dari politisasi yang tidak bertanggung jawab. Di Indonesia, misalnya, Densus 88 menangkap teroris bukan karena mereka Muslim, tetapi karena mereka terlibat dalam aksi teror. Demikian juga, negara-negara lain menghadapi radikalisme agama dengan fokus pada tindakan kriminal yang dilakukan oleh kelompok radikal, bukan keyakinan agama mereka.
Strategi melawan radikalisme harus melibatkan pendekatan yang lebih holistik. Pertama, Pendidikan dan Literasi Agama. Penting untuk memberikan pemahaman agama yang benar kepada masyarakat, terutama generasi muda. Agama harus dipandang sebagai sumber nilai-nilai kemanusiaan, cinta, dan kedamaian, bukan alat untuk menciptakan kebencian dan konflik.
Kedua, Peningkatan Kesejahteraan Sosial. Radikalisme sering kali berakar pada ketidakpuasan sosial. Oleh karena itu, langkah-langkah untuk meningkatkan kesejahteraan, mengurangi ketidakadilan, dan memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik yang sehat adalah penting.
Ketiga, Dialog Antaragama. Menggalakkan dialog antaragama untuk memperkuat pemahaman bersama tentang nilai-nilai universal seperti perdamaian, toleransi, dan keadilan dapat membantu mencegah radikalisme yang didasarkan pada prasangka terhadap agama lain.
Keempat, Penegakan Hukum yang Tegas. Tindakan hukum terhadap kelompok radikal harus didasarkan pada tindakan kriminal mereka, bukan pada keyakinan agama. Ini akan menunjukkan bahwa negara tidak anti-agama tetapi anti-kekerasan dan ketidakadilan.
Kesimpulan: Agama untuk Kemanusiaan, Bukan Kekuasaan
Radikalisme harus dilihat sebagai fenomena politik, bukan fenomena keagamaan. Dengan memahami bagaimana agama dipolitisasi oleh kelompok-kelompok dengan ambisi kekuasaan, kita bisa melawan radikalisme secara efektif. Agama harus dikembalikan pada perannya sebagai sumber kedamaian dan kemanusiaan, bukan sebagai alat untuk meraih kekuasaan.