Dalam upaya untuk memahami bagaimana eksklusivitas pemahaman fikih dapat mempengaruhi dinamika sosial dalam masyarakat, saya mengacu pada teori konstruksi sosial dari Alfred Schütz. Schütz menjelaskan bahwa manusia membangun realitas sosial mereka berdasarkan pengalaman subjektif dan interpretasi mereka terhadap dunia di sekitar mereka. Dalam konteks ini, ketika sebuah komunitas atau individu terlalu terfokus pada satu sudut pandang fikih, mereka cenderung membangun realitas sosial yang sempit dan kurang terbuka terhadap keragaman interpretasi yang sebenarnya merupakan bagian dari tradisi hukum Islam.
Pendekatan yang terlalu sempit terhadap fikih ini dapat memengaruhi cara masyarakat melihat hukum dan nilai-nilai yang ada di sekitarnya. Ketika fikih dianggap sebagai satu-satunya sumber kebenaran, pandangan lain yang berbeda sering kali dianggap sebagai penyimpangan atau bahkan ancaman. Hal ini berpotensi menimbulkan sikap eksklusif dan intoleran terhadap perbedaan pandangan, yang pada gilirannya dapat memicu konflik dalam masyarakat.
Sebagai contoh, dalam diskusi panjang saya dengan seorang teman yang berpandangan kaku terhadap hukum Islam, ia menyatakan bahwa penerimaan Pancasila dan undang-undang di Indonesia hanyalah bersifat "darurat" karena kondisi terpaksa. Bagi saya, pandangan ini perlu dikaji ulang dengan menggunakan perspektif syariah yang lebih luas. Pancasila dan hukum nasional Indonesia tidak seharusnya dilihat sebagai ancaman bagi syariah, melainkan sebagai bagian dari upaya untuk menciptakan tatanan sosial yang adil dan harmonis dalam kerangka negara yang plural. Oleh karena itu, yang seharusnya menjadi acuan adalah syariah itu sendiri, bukan fikih yang sifatnya kontekstual dan bisa bervariasi sesuai dengan kondisi sosial dan budaya.
Pengaruh Eksklusivitas Fikih dalam Konteks Indonesia
Di Indonesia, eksklusivitas pemahaman fikih tidak hanya terjadi di tingkat individu atau komunitas, tetapi juga tercermin dalam kebijakan hukum yang diambil oleh pemerintah daerah. Penerapan syariah di Aceh, misalnya, sering kali didasarkan pada interpretasi fikih Syafi’i yang ketat, sementara di daerah lain seperti Jawa atau Sulawesi, pengaruh mazhab lain atau bahkan tradisi lokal dapat lebih dominan. Kebijakan-kebijakan ini sering kali menjadi sumber ketegangan sosial, terutama ketika ada kelompok-kelompok yang merasa bahwa interpretasi fikih yang diterapkan tidak sesuai dengan tradisi atau keyakinan mereka.
Dalam konteks yang lebih luas, variasi interpretatif dalam fikih juga memengaruhi kebijakan nasional terkait hukum Islam. Salah satu contohnya adalah perdebatan seputar pernikahan usia dini di Indonesia, di mana beberapa daerah menerapkan batas usia yang lebih longgar berdasarkan interpretasi fikih tertentu, sementara daerah lain lebih ketat dalam mengikuti batas usia yang lebih konservatif. Kasus ini menunjukkan bagaimana variasi interpretatif dalam fikih dapat berdampak langsung pada kebijakan publik dan hak asasi manusia.
Islam Berkemajuan dan Pribumisasi Islam: Menjembatani Syariah dan Fikih
Pandangan Nurcholish Madjid tentang "Islam Berkemajuan" memberikan kontribusi penting dalam diskusi ini. Nurcholish menekankan bahwa Islam tidak harus dipahami secara kaku dan eksklusif, tetapi harus terbuka terhadap nilai-nilai universal seperti keadilan, kemanusiaan, dan kebebasan. Dalam konteks Indonesia yang plural, pandangan ini sangat relevan. Nurcholish berargumen bahwa syariah dapat diterjemahkan secara dinamis dan kontekstual, sesuai dengan realitas sosial yang terus berkembang.
Pendekatan yang serupa juga ditawarkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui konsep "Pribumisasi Islam." Menurut Gus Dur, Islam tidak harus dipaksakan dalam bentuk yang rigid dan formal, tetapi harus menyatu dengan budaya lokal. Pribumisasi Islam adalah upaya untuk menjadikan Islam sebagai bagian integral dari kebudayaan Indonesia tanpa kehilangan esensinya. Dengan pendekatan ini, Gus Dur berusaha menjembatani antara syariah dan tradisi lokal, sehingga Islam dapat diterima dan diaplikasikan dalam konteks yang lebih inklusif dan dinamis.
Islam Nusantara: Mengintegrasikan Syariah dengan Nilai Lokal
Pendekatan yang dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) melalui konsep "Islam Nusantara" juga penting untuk diperhatikan dalam diskusi ini. Islam Nusantara menekankan pentingnya mengintegrasikan ajaran-ajaran Islam dengan nilai-nilai lokal Indonesia, seperti gotong royong, toleransi, dan keadilan sosial. Pendekatan ini tidak hanya relevan dalam menghadapi tantangan modernitas, tetapi juga dalam menjaga harmoni sosial di tengah masyarakat yang majemuk.