Mohon tunggu...
Muhammad Muhajir
Muhammad Muhajir Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Dosen Agama Islam Universitas Brawijaya Malang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indonesia Kiblat Toleransi Dunia

6 September 2024   15:00 Diperbarui: 6 September 2024   15:49 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paus Fransiskus dan Grand Syekh Al-Azhar (Reuters)

Tahun 2024 menjadi sejarah baru bagi Indonesia di kancah internasional. Dua tokoh agama dunia yang disegani—Grand Syekh al-Azhar, Syekh Ahmad al-Tayyib, dan Paus Fransiskus—mengunjungi Indonesia. Kunjungan ini tidak bisa dipandang sebelah mata, sebab kedatangan mereka adalah pengakuan atas posisi strategis Indonesia sebagai model keberagaman yang harmonis dan toleran.

Di tengah hiruk-pikuk politik domestik, di mana isu-isu keberagaman sering kali dijadikan komoditas politik, Indonesia tetap mampu menjaga keseimbangan antara pluralitas dan persatuan. Ini sejalan dengan semangat yang diusung oleh dua pemimpin besar tersebut ketika pada 2019 di Abu Dhabi, mereka menandatangani Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Berdampingan. Sebuah dokumen monumental yang menyerukan pentingnya dialog antaragama dan kerja sama global dalam membangun perdamaian. Kunjungan mereka ke Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, bukan hanya sekadar diplomasi simbolis, tetapi juga pengakuan terhadap peran Indonesia sebagai penjaga nilai-nilai toleransi dan pluralisme.

Indonesia, Rumah bagi Harmoni Keberagaman

Indonesia bukan sekadar negara mayoritas Muslim. Sejak awal berdirinya, Indonesia telah menunjukkan wajah yang inklusif terhadap keberagaman agama dan kepercayaan. Pancasila, sebagai dasar negara, bukan hanya sekadar falsafah di atas kertas, tetapi telah menjadi panduan moral dalam menjaga keseimbangan antara agama dan kehidupan berbangsa.

Kunjungan Grand Syekh al-Azhar dan Paus Fransiskus ke Indonesia merupakan pengakuan bahwa negeri ini, dengan segala tantangannya, berhasil menjaga harmoni antara berbagai kelompok agama. Mereka datang bukan hanya untuk mengadakan pertemuan formal, melainkan untuk menyampaikan pesan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam memimpin dialog antaragama di dunia.

Dalam konteks ini, Indonesia memiliki modal sosial dan budaya yang kuat. Tradisi gotong royong, nilai kekeluargaan, dan semangat kebersamaan yang diwariskan oleh nenek moyang kita telah membentuk sebuah tatanan masyarakat yang toleran dan damai. Namun, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap tantangan-tantangan yang masih membayangi, seperti intoleransi yang kadang mencuat ke permukaan. Kedatangan dua tokoh besar ini seharusnya menjadi momentum bagi kita untuk kembali mengokohkan prinsip-prinsip kebangsaan yang mendukung persatuan di tengah perbedaan.

Pesan Toleransi dalam Tindakan Nyata

Salah satu hal yang paling menarik dari kunjungan Paus Fransiskus adalah keputusannya untuk tinggal di Kedutaan Besar Vatikan selama di Indonesia, bukan di hotel mewah seperti kebanyakan pemimpin dunia lainnya. Bahkan, Paus menolak menggunakan mobil anti-peluru, simbol kepercayaan besar terhadap keamanan dan keramahan Indonesia. Pilihan ini jelas menyampaikan pesan mendalam. Paus Fransiskus ingin menunjukkan bahwa ia mempercayai negeri ini, mempercayai umat Muslim yang ada di sini, dan yakin bahwa Indonesia adalah tempat di mana semua bisa hidup dalam damai.

Keputusan ini seolah memutar balikkan narasi negatif yang sering kali dilekatkan pada negara-negara dengan mayoritas Muslim di media Barat. Di saat berbagai negara berjuang melawan isu-isu Islamofobia dan polarisasi sosial, Indonesia hadir sebagai contoh bahwa harmoni dan perdamaian bukan hanya bisa dicapai, tetapi juga dirawat dengan baik.

Kesederhanaan Paus Fransiskus juga menjadi pelajaran penting. Di tengah arus globalisasi yang kerap kali mengedepankan materialisme dan konsumerisme, sosok Paus mengajarkan kita untuk kembali kepada nilai-nilai dasar kemanusiaan—kesederhanaan, ketulusan, dan kebersamaan. Ketika banyak pemimpin agama yang dikelilingi oleh kemewahan, Paus Fransiskus memilih untuk hidup sederhana, mengendarai mobil biasa, bahkan memilih jam tangan yang harganya jauh dari angka fantastis. Ini bukan hanya soal gaya hidup, tetapi soal prinsip moral yang menempatkan kemanusiaan di atas segala bentuk kemewahan dunia.

Simbol Perdamaian yang Menyentuh

Tidak hanya kesederhanaan yang menjadi sorotan, tetapi juga pesan perdamaian yang dibawa oleh Paus Fransiskus dan Grand Syekh al-Azhar. Kedua tokoh ini telah menunjukkan bahwa dialog dan perdamaian antaragama bukan sekadar kata-kata di atas kertas, tetapi bisa diwujudkan dalam tindakan nyata. Salah satu momen yang sangat menyentuh dari Paus Fransiskus adalah ketika ia mencuci kaki para narapidana, termasuk narapidana Muslim, sebagai simbol pengampunan dan ketiadaan dendam.

Tindakan ini mengingatkan kita bahwa perdamaian sejati hanya bisa dicapai melalui pengampunan, bukan dengan dendam atau kekerasan. Di tengah dunia yang kerap kali diguncang oleh konflik berbasis agama, pesan ini sangat relevan. Dalam Islam, kita juga diajarkan untuk menahan amarah dan memaafkan, sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Surat Ali Imran: 134: “Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain.”

Kehadiran Grand Syekh al-Azhar dan Paus Fransiskus menjadi pengingat bagi kita bahwa perdamaian tidak datang begitu saja, tetapi harus diperjuangkan melalui dialog, pengertian, dan kerjasama. Keduanya telah memberi contoh bahwa meskipun terdapat perbedaan keyakinan, kesatuan dalam kemanusiaan bisa menjadi jembatan menuju perdamaian.

Tantangan dan Harapan

Meskipun Indonesia telah diakui sebagai model toleransi, kita tidak boleh lengah. Intoleransi yang mengemuka di beberapa tempat harus menjadi alarm bagi kita semua. Kunjungan kedua tokoh dunia ini harus menjadi momentum bagi kita untuk mengevaluasi kembali langkah-langkah yang sudah kita ambil dalam menjaga kebhinekaan dan keberagaman.

Dalam hal ini, peran pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat sipil menjadi sangat penting. Pendidikan multikultural dan dialog antaragama harus terus diperkuat. Media juga memegang peran sentral dalam menjaga narasi yang positif dan konstruktif tentang keberagaman.

Kunjungan Grand Syekh al-Azhar dan Paus Fransiskus adalah momen bersejarah yang menegaskan bahwa Indonesia berada di garis depan dalam perjuangan global untuk perdamaian dan toleransi. Dunia sedang melihat kita. Mari kita jadikan momen ini sebagai pijakan untuk memperkuat komitmen kita terhadap pluralisme, menghargai perbedaan, dan terus membangun bangsa yang damai dan inklusif. Indonesia adalah rumah bagi semua, dan mari kita jaga rumah ini dengan sepenuh hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun