Tahun 2024 menjadi sejarah baru bagi Indonesia di kancah internasional. Dua tokoh agama dunia yang disegani—Grand Syekh al-Azhar, Syekh Ahmad al-Tayyib, dan Paus Fransiskus—mengunjungi Indonesia. Kunjungan ini tidak bisa dipandang sebelah mata, sebab kedatangan mereka adalah pengakuan atas posisi strategis Indonesia sebagai model keberagaman yang harmonis dan toleran.
Di tengah hiruk-pikuk politik domestik, di mana isu-isu keberagaman sering kali dijadikan komoditas politik, Indonesia tetap mampu menjaga keseimbangan antara pluralitas dan persatuan. Ini sejalan dengan semangat yang diusung oleh dua pemimpin besar tersebut ketika pada 2019 di Abu Dhabi, mereka menandatangani Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Berdampingan. Sebuah dokumen monumental yang menyerukan pentingnya dialog antaragama dan kerja sama global dalam membangun perdamaian. Kunjungan mereka ke Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, bukan hanya sekadar diplomasi simbolis, tetapi juga pengakuan terhadap peran Indonesia sebagai penjaga nilai-nilai toleransi dan pluralisme.
Indonesia, Rumah bagi Harmoni Keberagaman
Indonesia bukan sekadar negara mayoritas Muslim. Sejak awal berdirinya, Indonesia telah menunjukkan wajah yang inklusif terhadap keberagaman agama dan kepercayaan. Pancasila, sebagai dasar negara, bukan hanya sekadar falsafah di atas kertas, tetapi telah menjadi panduan moral dalam menjaga keseimbangan antara agama dan kehidupan berbangsa.
Kunjungan Grand Syekh al-Azhar dan Paus Fransiskus ke Indonesia merupakan pengakuan bahwa negeri ini, dengan segala tantangannya, berhasil menjaga harmoni antara berbagai kelompok agama. Mereka datang bukan hanya untuk mengadakan pertemuan formal, melainkan untuk menyampaikan pesan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam memimpin dialog antaragama di dunia.
Dalam konteks ini, Indonesia memiliki modal sosial dan budaya yang kuat. Tradisi gotong royong, nilai kekeluargaan, dan semangat kebersamaan yang diwariskan oleh nenek moyang kita telah membentuk sebuah tatanan masyarakat yang toleran dan damai. Namun, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap tantangan-tantangan yang masih membayangi, seperti intoleransi yang kadang mencuat ke permukaan. Kedatangan dua tokoh besar ini seharusnya menjadi momentum bagi kita untuk kembali mengokohkan prinsip-prinsip kebangsaan yang mendukung persatuan di tengah perbedaan.
Pesan Toleransi dalam Tindakan Nyata
Salah satu hal yang paling menarik dari kunjungan Paus Fransiskus adalah keputusannya untuk tinggal di Kedutaan Besar Vatikan selama di Indonesia, bukan di hotel mewah seperti kebanyakan pemimpin dunia lainnya. Bahkan, Paus menolak menggunakan mobil anti-peluru, simbol kepercayaan besar terhadap keamanan dan keramahan Indonesia. Pilihan ini jelas menyampaikan pesan mendalam. Paus Fransiskus ingin menunjukkan bahwa ia mempercayai negeri ini, mempercayai umat Muslim yang ada di sini, dan yakin bahwa Indonesia adalah tempat di mana semua bisa hidup dalam damai.
Keputusan ini seolah memutar balikkan narasi negatif yang sering kali dilekatkan pada negara-negara dengan mayoritas Muslim di media Barat. Di saat berbagai negara berjuang melawan isu-isu Islamofobia dan polarisasi sosial, Indonesia hadir sebagai contoh bahwa harmoni dan perdamaian bukan hanya bisa dicapai, tetapi juga dirawat dengan baik.
Kesederhanaan Paus Fransiskus juga menjadi pelajaran penting. Di tengah arus globalisasi yang kerap kali mengedepankan materialisme dan konsumerisme, sosok Paus mengajarkan kita untuk kembali kepada nilai-nilai dasar kemanusiaan—kesederhanaan, ketulusan, dan kebersamaan. Ketika banyak pemimpin agama yang dikelilingi oleh kemewahan, Paus Fransiskus memilih untuk hidup sederhana, mengendarai mobil biasa, bahkan memilih jam tangan yang harganya jauh dari angka fantastis. Ini bukan hanya soal gaya hidup, tetapi soal prinsip moral yang menempatkan kemanusiaan di atas segala bentuk kemewahan dunia.