Mohon tunggu...
Muhammad Thoha Maruf
Muhammad Thoha Maruf Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Penulis yang gemar beranjangsana. Kadang juga aktif di sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Dilema Pertanian Organik di Indonesia

20 April 2020   09:48 Diperbarui: 20 April 2020   09:54 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://unsplash.com/@jlanzarini

Petani, dilihat sebagai derajat mata pencaharian di masyarakat merupakan profesi yang dianggap tidak mempunyai derajat yang luhur. Bagaimana mungkin orang yang kesehariannya kotor-kotoran lebih baik dibandingkan orang kantoran yang hampir tidak tersentuh kotoran. 

Itu pemikiran kebanyakan orang. Meskipun tidak ada unsur pemaksaan, entah mengapa pada saat anak SD diberi pertanyaan mengenai cita-citanya, nihil yang menyebutkan cita-citanya menjadi seorang petani. Petani dilihat dari segi ekonomi mungkin senada dengan derajat yang ada di atas. 

Tapi, untuk yang kedua ini sedikit berbeda. Untuk masalah ekonomi seorang petani, orang selalu mengaitkan dengan seberapa luas sawah yang digarap. Maka dari itu, dengan semakin sempitnya luas lahan pertanian, lambat laun profesi ini mulai ditinggalkan.

Pemikiran dangkal : semakin sempit lahan pertanian, maka semakin sedikit rupiah yang akan didapat memang masuk akal. Tetapi, Paradigma semacam itu nampaknya harus mulai digeser ke belakang. Petani-petani muda sudah mulai menggebrak di garda terdepan. Mereka membawa inovasi yang baru. Mereka berkeyakinan bahwa bertani itu gampang sekali.

Para petani tua sudah mulai kehilangan akal, karena semakin sulitnya pupuk diperoleh serta murahnya harga jual komoditi pertanian. Petani muda datang membawa hal yang baru rasa lama yaitu : pertanian organik. Sebuah sistem baru yang sering digaung-gaungkan namun tak kunjung terealisasi. 

Setiap kali mau digelorakan ada-ada saja masalahnya. Mulai dari lingkungan sekitar yang masih menggunakan pertanian anorganik hingga harga jual yang lebih mahal menjadi ogahnya minat untuk membeli dari konsumen.

Kalau dilihat dari sudut pandang yang lebih luas. Nampaknya kita harus berpikir berkali-kali sebelum memulai wajah baru di dunia pertanian dengan sistem organik. Pertanian seperti dianaktirikan oleh pemerintah. 

Pemerintah ingin memajukan sektor-sektor selain pertanian. Tidak dapat dipungkiri semakin tahun lahan pertanian semakin sempit. Minat menjadi seorang petani semakin menurun.

Sebenarnya pertanian organik adalah salah satu kartu as untuk mewujudkan pertanian yang suistenable. Dengan menerapkan pertanian organik, maka petaka yang sering mengancam mulai berguguran. Penggunaan bahan kimia pada sistem anorganik memang mempunyai efek yang tidak baik. 

Contohnya efek pestisida kimia, ketika pestisida tersebut digunakan diluar batas, yang akan terbunuh bukan hanya hama pengganggu tanaman, melainkan musuh alami juga ikut mati. 

Begitupun efek dari pupuk kimia yang dikeluhkan oleh para petani, tanah menjadi sukar untuk gembur. Cacing ogah-ogahan untuk datang menggemburkan tanah.

Berbicara masalah hasil panen. Memang sedikit mempunyai kesamaan. Hasil panen tergantung perawatan yang dilakukan. Tetapi dari keterangan beberapa narasumber yang saya wawancarai, terlihat perbedaan, terutama pada hal gizi, "Hasil panen yang berbau kimia sangat rentan membawa beragam penyakit. Hal tersebut dapat dicek di laboratorium maupun secara tradisional", kata si narasumber

Mengesampingkan nilai gizi, keberadaan pupuk kimia yang diproduksi beberapa pabrik besar memang berpeluang menghasilkan devisa yang besar bagi negara. Selain itu keberadaan pabrik mampu menekan angka pengangguran yang masih ada di bumi pertiwi. 

Belum terhitung berapa jumlah distributor dan agen yang terdampak apabila pupuk kimia ditiadakan. Masalah-masalah tersebut menjadikan pertanian organik sebuah dilema. 

Kalau terus digencarkan akan mengancam perekonomian banyak orang. Sedangkan, kalau ditinggalkan, rumah sakit sudah penuh sesak dihuni para pasien.

Sebagai manusia yang peduli akan masa depan. Sudah sepatutnya kita membudayakan menelaah sebab dan akibat yang terjadi dari sebuah peristiwa, dalam hal ini persoalan pertanian organik.

Saya kira daripada terlalu lama mengurusib dilema yang tidak akan berkesudahan, seyogyanya untuk membuat hal yang berguna untuk diri sendiri. Spekulatif kalau orang lain terkena dampak baiknya. 

Saya yakin setiap orang mempunyai halaman rumah. Meskipun tidak seluas lapangan bola. Tempat-tempat sesempit itu dapat dioptimalkan secara baik dengan cara menanami tanaman. Mulai dari sayur-sayuran, hingga tanaman bunga.

Untuk masalah organik atau anorganik itu, urusan yang terpenting adalah mulailah menanam. Minimal untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga. Alangkah lebih baik lagi kalau menggunakan  limbah rumah tangga ataupun pupuk organik sebagai pupuk maupun pestisida.

Keberlangsungan hidup di masa depan lebih penting daripada urusan keuntungan belaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun