Dahulu pada zaman kedudukan Belanda. Zaman perang meletus antara pendekar yang berjuang mempertahankan tanah air dan harga dirinya.Â
Melawan penindasan dan pemerasan, kesewenangan, kerja paksa dan penghinaan. Tersebut pula nama seorang Murtadho, seorang ahli beladiri harimau hitam, memakai satu kerambit di tangan yang terselip di pinggang.Â
Dia seorang yang selalu melatih gerakan macam kucing berkelahi. Pernah waktu itu Murtado kena fitnah, entah melalui jin atau penerawangan sakti dari kemampuan batin seorang pandeka jaman dahulu.
Murtado orang tampan nan gagah, baik pula budi pekerti dia. Setiap wanita pun menaruh suka pada dia. Tak peduli Murtado sedang berjalan, bagaikan macan hitam dia dijuluki.
Murtado seorang pahlawan, wibawa berjuluk amarah harimau hitam dari ladang jati. Dia pun sekali bertindak tak ada yang berani.
Akibat keberanian dia melawan penjajah, dia pun harus menerima hukuman difitnah dan diteror oleh kompeni. Dia pernah dipaksa hukuman pengasingan dalam penjara satu bulan.Â
Selalu dipersalahkan oleh penjajah dan Murtado terpaksa harus menjadi musuh mereka. Murtado seorang diri diawasi oleh dukun pesuruh pihak kompeni penjajah dan diserang hukuman cacian verbal setiap jalan. Luwes sabar hati Murtado. Murtado siap menjalani itu. Memang tak sakti orangnya.
Hingga suatu saat, dia ketangkap menolong orang yang istrinya sedang mau diperkosa, hingga durjana itu melawan Murtado. Murtado pun dengan sigap keluarkan karambiak dari pinggang.Â
Tak sampai mengenai bagian vital durjana, hanya punggung saja. Karena merasa wanita itu berteriak, sehingga ramai orang-orang berduyun berdatangan ke tempat suara minta tolong itu. Durjana itu lari. Dan Murtado disalahkan sebagai pengambil istri orang. Murtado dibawa ke penjara penjajah dan dijatuhi hukuman mati. Karena hukuman mati itu harus dilaksanakan besok dengan cara dicekik leher dengan tali.
Murtado tak bisa apa, hanya berserah, berdoa memohon pertolongan. Angin berduyun datang, menerpa penjara dan tiang penggantungan.
Bermimpilah Murtado malam itu, dia bertemu seorang tua gagah, memberi kata pada Murtado siap memberi kekuatan dan pertolongan dengan syarat Murtado sendiri harus rela menjadi korban.
Dengan syarat bahwa Murtado harus melepaskan kalung bertuliskan kalimat rajah suci dari uwaknya. Murtado pun sedia melakukannya, berkat mengambil pertolongan itu.
Dia mengambil pertolongan itu, dan berubah dia malam itu jadi terbakar macam api. Memiliki kesaktian macam api. Ditebas, ditebak, dibom, tak mempan. Tak ada yang bisa menyentuhnya. Dia tak terkalahkan. Dia mencuri kuda untuk melarikan diri malam itu. Kuda yang dia sentuh berubah jadi merah membara macam api. Dia melarikan diri tak ketangkap sampai sekarang.
Tapi setiap malam Murtado harus berubah macam itu, dan pernah dilihat oleh penduduk berjaga dan kompeni melintas di dekat sumur tua, seperti merah membara pakaian dari Murtado dan menyala api sekujur tubuh dan kudanya. Menghilang seperti dilelap angin sekejap mata. Setiap bekas dari tapak kuda menimbulkan api di tanah dan rumput. Membakar gudang persediaan Belanda.
Murtado hidup abadi dan memperoleh keberadaan di dua dunia. Dia pun sakti tak terkalahkan. Meninggalkan anak istri. Tetapi kadang menengok rumah dan keturunannya di depan rumah anak cucunya sambil mengendarai kuda merah api membara. Orang-orang memanggil dengan sebutan Jaran Gondol. Kuda curian yang hilang sampai sekarang milik kompeni penjajah.
2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H