Mohon tunggu...
Muhammad Lazuardian Fauzy
Muhammad Lazuardian Fauzy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UPN Veteran Yogyakarta

Menyukai isu isu internasional dan perkembangan teknologI

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sikap Politik Luar Negeri Indonesia Melawan Standar Ganda Barat dalam Isu HAM

9 Oktober 2022   19:46 Diperbarui: 9 Oktober 2022   19:51 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari kebelakang kita dikejutkan dengan pengajuan rancangan resolusi tentang dugaan pelanggaran HAM oleh Cina terhadap kaum muslimin Uighur di daerah otonomi Uighur Xinjiang yang ditolak dalam pertemuan Dewan HAM PBB. Rancangan resolusi tersebut diajukan oleh Amerika Serikat (AS), Inggris, Swedia, Norwegia, Kanada, Islandia, Finlandia, dan Denmark. Kegagalan pengajuan tersebut dipastikan setelah hasil pemungutan suara menyatakan 19 negara menolak, 17 negara mendukung, dan 11 negara abstain. Hal yang lebih mengejutkan adalah banyaknya negara-negara muslim yang menolak seperti Qatar, Pakistan, Uni Emirat Arab, dan Indonesia. Sementara negara muslim lainnya seperti Malaysia memilih untuk abstain. Ini tentunya menimbulkan pertanyaan mengapa banyak negara muslim yang menolak, termasuk negara Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.

Menanggapi hal tersebut wakil tetap Indonesia di Jenewa, Febrian A Ruddyard menyatakan bahwa rancangan resolusi yang diajukan negara pengusung dalam sidang dewan HAM PBB tidak akan membuat kemajuan berarti mengingat tidak ada dukungan dari negara yang berkepentingan. Sehingga berdasarkan hal tersebut dan berbagai pertimbangan, Indonesia tidak dalam posisi untuk mendukung rancangan resolusi tentang situasi HAM yang menimpa kaum muslimin Uighur Xinjiang. Meskipun begitu Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar didunia tetap memikul tanggung jawab untuk peduli terhadap berbagai pelanggaran HAM yang diterima kaum muslimin di dunia. Indonesia bersama dengan OKI dan negara muslim lainnya memiliki cara tersendiri untuk menyelesaikan masalah HAM yang dialami kaum muslimin.

Selain itu Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri Indonesia, Achsanul Habib menyatakan Indonesia tidak menginginkan adanya politisasi dewan HAM PBB yang digunakan untuk tujuan yang tidak semestinya seperti rivalitas politik AS dengan Cina. Selain itu Indonesia tidak menginginkan kaum muslimin dijadikan alat politik dalam proxy war yang saat ini terjadi antara Barat yang dipimpin AS melawan Cina. Seperti yang diketahui saat ini AS dan Cina merupakan dua negara rival yang saling berebut pengaruh di kancah internasional. Dimana keduanya kerap kali saling kritik mulai dari kebijakan domestik, isu HAM, hingga masalah kebijakan luar negeri. Sehingga dapat dipastikan bahwa rancangan resolusi yang diajukan AS dan sekutunya adalah murni bertujuan untuk melemahkan Cina dengan Isu HAM kaum muslimin Uighur Xinjiang. AS dan sekutunya sama sekali tidak benar-benar berniat membantu kaum muslimin Uighur Xinjiang. Mereka hanya mengambil Isu tersebut untuk menarik simpati kaum muslimin dunia serta menutupi pelanggaran HAM yang mereka lakukan terhadap kaum muslimin seperti pelanggaran HAM di Palestina, Afganistan, Irak dan negara lainnya.

Indonesia akan terus menyuarakan perdamaian dan mengawal pelanggaran HAM seperti yang terjadi pada kaum Rohingya di Myanmar dan Palestina. Seperti yang ditegaskan Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi dalam sidang majelis umum PBB pada akhir September 2022 bahwa Indonesia akan mendukung dan bersolidaritas dalam penyelesaian HAM di kedua negara tersebut. Hal ini tentunya sejalan dalam konstitusi Indonesia yang menyatakan kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan penjajahan diatas dunia harus dihapuskan. Indonesia memaknai kemerdekaan dan penghapusan penjajahan bukan hanya terkait negara tetapi juga melingkupi individu, masyarakat, kaum dan bangsa. Sehingga HAM merupakan bagian dari kemerdekaan dan penghapusan penjajahan yang harus dilaksanakan. Indonesia dalam politik luar negerinya yang bebas aktif menghendaki penyelesaian HAM yang serius, bukan penyelesaian HAM yang semu dan dibungkus pelemahan negara lain. Kemudian Indonesia secara bebas menentukan caranya sendiri untuk menyelesaikan HAM di dunia internasional, tidak mengikuti kekuatan Barat yang melakukan standar ganda dalam penyelesaian isu HAM internasional.

Standar ganda Barat yang dipimpin AS dan sekutunya dalam menyelesaikan isu HAM internasional benar-benar sangat tidak sedap dipandang. Dalam peristiwa tertolaknya rancangan resolusi dugaan pelanggaran HAM Cina terhadap kaum muslimin Uighur Xinjiang dapat terlihat sikap Negara muslim yang sudah muak dengan standar ganda Barat. Indonesia dan negara muslim lainnya memilih tegas menolak sementara negara muslim lainnya yang dekat dengan AS dan sekutunya memilih abstain. Hal ini dikarenakan Barat merupakan pelaku dari pelanggaran HAM terhadap kaum muslimin di dunia internasional. Kita melihat kasus pelanggaran HAM di Palestina yang dilakukan Israel didukung penuh oleh Barat. Bahkan secara diplomatik AS dan Inggris sudah menyatakan akan memindahkan kedutaan besar mereka dari Tel Aviv ke Yerusalem. Selain itu penyerbuan yang dilakukan oleh AS setelah Afganistan terbebas dari Uni Soviet juga menimbulkan korban yang tidak sedikit. Kemudian invasi AS terhadap Irak yang meruntuhkan pemerintahan Irak dengan dalih senjata nuklir yang tidak terbukti juga menimbulkan krisis dan konflik dalam negeri Irak yang tidak kunjung selesai.

Media Barat kerap kali menggunakan kaum muslimin dan isu kesetaraan perempuan sebagai pembenaran atas apa yang negara-negara Barat lakukan. Namun mereka seringkali luput tentang pelanggaran HAM yang dilakukan AS dan sekutunya. Media Barat hampir tidak pernah memberitakan korban yang diakibatkan dari pelanggaran HAM yang dilakukan AS. Mereka juga sangat jarang menyebutkan berapa perempuan yang diperkosa oleh tentara AS dalam invasi yang mereka lakukan. Studi para dokter dari Universitas John Hopkins di Baltimore menyatakan setidaknya terdapat lebih dari 650.000 korban tewas akibat invasi AS di Irak pada tahun 2003. Selain itu menurut perkiraan dari Brown University penyerbuan AS ke Afghanistan sejak tahun 2001 telah menewaskan lebih dari 363.000 warga sipil. Namun ada hal yang lebih mencengangkan dimana tidak ada satu penelitian pun yang dimuat dalam media Barat berkaitan dengan jumlah perempuan yang diperkosa tentara AS. Yang ada malah berkaitan tentang kebobrokan dalam internal AS sendiri dimana dalam penelitian departemen pertahanan AS ada sekitar 26.000 orang Wanita dan pria yang menjadi target perkosaan di militer AS.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun