Mentari datang seperti biasanya, menyambut para penghuni bumi yang masih terpejam menikmati bunga tidur mereka sendiri dan juga memberikan semangat kepada penghuni bumi yang sudah melakukan aktivitasnya. Tepat saat itu juga jagoan ayahku tidak pernah lupa dengan tugasnya yaitu memberi sinyal kepada seluruh keluarga kami karena hari sudah menjelang pagi dengan cara berkokok, ditambah suara cicit burung yang berterbangan dan suara bising tetangga yang sedang beraktivitas. Itu semua memberikan suasana yang selalu aku dapat selama aku tinggal disini, yaitu kehidupan di desa.
Aku masih terlelap dengan berlindung di bawah selimut kesayanganku, hingga pada saatnya terdengar suara ketukan pada pintu kamarku yang sedikit membuatku sadar dari alam mimpiku.
"Miraaaa, bangun atuh sayang ini udah pagi, engga baik neng geulis jam segini masih bobo, buruan bangun kamu teh hari ini kan ada kegiatan di kampung sebelah," ujar emakku sambil mengetuk pintu kayu kamar milikku. Mendengar suara dari emakku membuat aku sedikit membuka matanya sekedar menyesuaikan alam mimpi dengan kehidupan.
"Emangnya sudah jam berapa atuh Mak? Mira teh masih ngantuk sekali," tanyaku lalu membangunkan badan sendiri untuk duduk di pinggir tempat tidurku.
"Sudah jam enam ini, kegiatannya juga mulai jam delapan, cepat mandi habis itu langsung sarapan, emak udah masakin makanan kesukaanmu, ayam goreng sambal ijo, bisa buat bekal nanti disana," ujar si emak sambil menjauhi depan kamarku. Segera saja aku mengambil handuk dan menuju ke kamar mandi, seperti biasa aku tidak akan lama-lama dalam mandi karena air di desa sangat dingin bagiku, yang bisa membuatku sakit nantinya jika mandi dalam waktu yang lama.
Tidak aku sangka persis depanku sekarang, banyak sekali hidangan makanan yang dibuat oleh emak.
"Mak, ini makanan segini banyak buat apa atuh?" Tanyaku kepada emak, karena aku terheran-heran, tidak seperti biasanya emak masak segini banyak.
"Kamu lupa ya? Kan hari ini kamu ada kegiatan di kampung sebelah, yang pastinya emak akan masak banyak dan dibagikan juga untuk warga-warga kampung sebelah, memberi dengan apa yang kita punya, itu perbuatan yang disukai oleh Tuhan," jelas emakku.
Mendengar penjelasan itu membuat aku diam sejenak sambil menatap makanan-makanan tepat di atas meja makan, aku bertanya kepada diriku sendiri, 'emang makanan segini cukup ya? Masalahnya warga kampung sebelah itu banyak, yang pastinya tidak akan cukup' tanyaku dalam hati.
Emak yang melihat aku terdiam, segera saja menghampiriku dan menepuk pundak aku seraya berkata.Â
"Kenapa diam Mira? Memikirkan makanan ini cukup atau tidak ya? Kamu tenang saja, makanan ini hanya untuk warga yang terlibat dalam kegiatan nanti," aku semakin terbuat heran, bagaimana bisa emakku tahu isi hatiku.Â