Mohon tunggu...
Muhammad Latif
Muhammad Latif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ilmu Politik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menyoal Dinasti Politik Sebagai Sebuah Masalah Dalam Praktik Desentralisasi

28 Oktober 2021   20:40 Diperbarui: 28 Oktober 2021   22:39 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terjadinya demokratisasi pasca runtuhnya rezim orde baru menjadi sebuah langkah awal bagi proses reformasi dalam banyak sektor pemerintahan di Indonesia, termasuk dalam hal tata kelola pemerintahan. 

Pola pemerintahan yang sangat sentralistik ketika periode kekuasaan rezim orde baru membuat lahirnya berbagai macam bentuk tindak penyelewengan kekuasaan. 

Setelah rezim orde baru runtuh terjadi transisi dari pemerintahan yang sentralistik (serba pusat) menjadi desentralistik. Proses transformasi ini kemudian dikemas ke dalam bentuk UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah.

Tujuan dari adanya desentralisasi ini pada awalnya tidak lain adalah untuk melepas ketergantungan daerah terhadap pusat guna menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pelayanan publik kepada masyarakat. 

Dengan adanya desentralisasi ini diharapkan kolaborasi langsung antara pemerintah daerah dan masyarakat dapat membantu menjawab segala bentuk permasalahan yang ada pada tingkat daerah. 

Termasuk dalam peningkatan stabilitas ekonomi serta pengelolaan sumber daya alam masing-masing daerah. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, praktik desentralisasi yang diwujudkan melalui otonomisasi ini malah memunculkan masalah-masalah baru seperti muculnya rivalitas antar elit daerah serta melahirkan dinasti politik pada tingkat lokal.

Fenomena dinasti politik menjadi sebuah permasalahan yang masih mengakar dalam praktik desentralisasi. Pasalnya desentralisasi yang bermakna pelimpahan sebagian kekuasaan kepada pemerintah daerah membuat elit di daerah memiliki kontrol penuh atas pelaksanaan pemerintahan sehingga memberikan sebuah celah bagi segelintir elit lokal untuk menciptakan sebuah hegemoni demi mempertahankan serta memperluas kekuasaan mereka. 

Segelintir elit ini nantinya akan menciptakan sebuah jejaring dengan menempatkan keluarga serta kerabat mereka di dalam berbagai jabatan strategis guna dapat memaksimalkan pengakomodasian kepentingan mereka. Hal inilah yang menjadi cikal bakal terciptanya dinasti politik.

Dinasti politik dalam artian secara tradisional dapat dijelaskan sebagai upaya yang dilakukan oleh penguasa dengan meletakkan jejaring kerabat dan keluarganya pada sebuah posisi strategis dengan tujuan untuk membangun sebuah “kerajaan politik” dalam pemerintahan baik pada tingkat lokal maupun nasional (Agustino, 2010). Jadi dinasti politik dapat diidentifikasi dengan melihat persebaran jaringan kekuasaan pada posisi strategis yang diisi oleh kerabat dan keluarga dalam lembaga negara maupun partai politik (Fatkhuri,2010).

Munculnya apa yang disebut dinasti politik pada tingkat lokal ini salah satunya adalah lewat pemilihan kepala daerah. Seperti yang kita ketahui pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan produk dari desentralisasi. Kontestasi pemilihan kepala daerah inilah yang dimanfaatkan oleh segelintir elite guna memperluas jaringan kekuasaan mereka.

Fenomena terbentuknya dinasti politik pada tingkat lokal ini bisa dibilang kian subur. Pada pemilihan kepala daerah tahun 2020 setidaknya terdapat sebanyak 57 calon kepala daerah yang termasuk ke dalam lingkaran dinasti politik. Hal ini secara langsung membuktikan bahwa hubungan yang ada dalam jaringan dinasti politik tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang mendorong posisi elektoral mereka.

Dalam beberapa dekade terakhir banyak bermunculan raja-raja kecil baru pada tingkat lokal. Salah satu yang paling santer di dengar dalam beberapa tahun terakhir adalah mengenai dinasti politik Ratu Atut di Banten. Yang menjadi menarik adalah walaupun Ratu Atut berstatus sebagai kriminal akibat tindakan penyalahgunaan jabatan, akan tetapi pengaruhnya masih tetap mendominasi. 

Banyak dari jabatan strategis di Banten baik itu jabatan politik ataupun birokrasi diisi oleh keluarga dan kerabatnya. Pengaruh yang kuat tersebut dikhawatirkan dapat memobilisasi lembaga birokrasi serta menggunakan sumber daya pemerintahan yang ada guna memenangkan kompetisi.

Dalam mengatasi semakin suburnya dinasti politik ini sebenarnya telah diatur dalam UU Pilkada No. 8 Tahun 2015 Pasal 7 (r) yang melarang keluarga calon petahana untuk ikut serta dalam kontestasi kecuali jika telah lewat dari satu periode masa jabatan. 

Yang menjadi permasalahannya adalah justru aturan ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan melawan nilai-nilai Hak Asasi Manusia sehingga keputusan tersebut memberikan angin segar terhadap elite politik yang berada dalam lingkaran dinasti politik.

Melihat semakin suburnya dinasti politik pada tingkat lokal dapat membuat rusaknya nilai-nilai demokrasi. Banyaknya jabatan yang dikuasai oleh sekelompok orang dari lingkaran yang sama tersebut membuat nilai check and balances dalam proses pengambilan keputusan menjadi kabur bahkan hilang. 

Hal ini pada akhirnya mendorong munculnya praktik monopoli sehingga melahirkan berbagai macam tindakan pengkhianatan terhadap rakyat seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. 

Desentralisasi yang pada awalnya memberikan kesempatan sebesar-besarnya terhadap kolaborasi antara pemerintah dan rakyat malah berubah menjadi sebuah hegemoni oleh sekelompok elite terhadap sumber daya yang ada. 

Alhasil tujuan desentralisasi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menjunjung nilai-nilai akuntabilitas, transparansi, serta partisipasi masyarakat tadi malah menjadi boomerang terhadap peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat.

REFERENCE:

Agustino, L. (2010). Dinasti Politik Pasca-Otonomi Orde Baru: Pengalaman Banten dalam. Majalah Prisma, Otonomi Daerah Untuk Siapa, 29(3), 109.

Sujarwoto, S. (2016). Desentralisasi, dinasti politik dan kemiskinan di Indonesia. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik, 1(2), 1-6.

Tanjung, M. A., & Faizal, F. (2021). POTRET KEADILAN DALAM POLITIK DINASTI PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI INDONESIA. Jurnal Ius Constituendum, 6(1), 144-165.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun