Mohon tunggu...
Muhammad Kifah
Muhammad Kifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Hobi Membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Identitas Nasional: Tradisi Bajapuik

13 November 2022   19:54 Diperbarui: 13 November 2022   20:02 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nilai pitih japuik juga berbeda-beda, ini disesuaikan dengan status sosial calon suami. Semakin tinggi status sosial calon suami dan keluarga, maka pitih japuik akan tinggi juga. Apalagi jika calon suami adalah keturunan bangsawan atau memiliki gelar adat seperti, sidi, bagindo, atau sutan. Kini dengan berkembangnya zaman, nilai pitih japuik ditentukan dari tingkat pendidikan, pekerjaan, dan jabatan atau gelar.

Tradisi ini dilaksanakan jika pihak laki-laki merupakan orang Pariaman. Sebagian masyarakat Pariaman memegang teguh tradisi ini, sehingga mewajibkan semua masyarakat yang ingin menikah harus melaksanakannya. Di pihak wanita bisa jadi keberatan dengan jumlah uang jemputan yang ditetapkan yang menyebabkan pihak wanita harus bersusah payah mempersiapkan uang jemputan. Dan di pihak laki-laki, jika tradisi ini tidak dilakukan akan membuat harga dirinya jatuh.

Dalam adat Pariaman, memang tidak ada sanksi tertulis yang ditetapkan apabila tradisi ini tidak dilaksanakan ketika pernikahan. Akan tetapi terdapat sanksi moral yang lebih berat. Pasangan yang menikah tanpa pitih japuik akan dipandang sebelah mata oleh masyarakat, bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Tradisi ini sebenarnya dinilai kontroversial karena memberatkan dan merugikan pihak wanita dan menguntungkan pihak laki-laki.

Perlu kita pahami bahwa tradisi pitih japuik ini tidak sama dengan mahar. Karena pemberiannya sebelum pernikahan dilangsungkan. Sedangkan mahar diberikan kerika akad nikah dari laki-laki kepada wanita.

Mempelai laki-laki tetap memberikan mahar kepada wanita karena itu adalah salah satu syarat pernikahan. Selain itu ketika terjadi acara berkunjung ke rumah mertua pihak wanita, pihak laki-laki mengembalikan uang tersebut dalam bentuk barang yang biasanya nilainya lebih dari pitih japuik, seperti berbagai perhiasan.

Kemudian tradisi ini sah-sah saja untuk dilakukan. Karena tergantung dari kesepakatan kedua keluarga, bahkan jika kedua keluarga menetapkan tidak ada uang jemputan itu juga tidak menjadi masalah karena kembali lagi sesuai kepustusan yag telah disepakati

Tradisi ini sebenarnya terinspirasi dari kisah pernikahan Rasulullah dan Siti Khadijah. Pada saat itu, Siti Khadijah memberikan sejumlah uang kepada Rasulullah untuk mengangkat derajat beliau dan menghormatinya.

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa tradisi ini tidak bermaksud merendahkan laki-laki karena dianggap membeli seseorang. Melainkan untuk mengangkat dan memuliakan derajat mempelai laki-laki. Maksudnya pihak wanita menghargai keluarga pihak laki-laki yang telah melahirkan, merawat, dan mendidik sang lelaki sampai seperti sekarang ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun