Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Human Resources - Researcher / Paradigma Institute

Membaca dunia adalah membuka cakrawala pengetahuan, dan melalui hobi menulis, kita menorehkan jejak pemikiran agar dunia pun membaca kita.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Melestarikan Musik Rebana Kudus, Akulturasi Budaya Islam dan Pengikat Solidaritas Kolektif

20 Januari 2025   14:49 Diperbarui: 20 Januari 2025   14:53 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terbang Kolosal / Rebana Kolosal "Terbang Papat" di Serambi Masjid Menara Kudus (Sumber: Official Menara Kudus)

Di Kudus, musik rebana atau terbangan memiliki tempat istimewa sebagai warisan budaya Islam yang mencerminkan akulturasi lokal. Tradisi ini berkembang pesat, terutama di kalangan santri, sebagai wujud ekspresi seni religius sekaligus alat pengikat solidaritas kolektif dalam masyarakat Muslim.

Kudus, dikenal sebagai kota wali, merupakan pusat akulturasi budaya Islam dan tradisi lokal. Musik rebana menjadi medium seni yang memadukan pesan dakwah dengan harmoni alat musik tradisional. Jika menelusuri jejak sejarahnya, rebana di Kudus tidak hanya membawa unsur Arab, tetapi juga unsur Jawa yang kental, seperti irama khas gendhing dan penggunaan lirik berbahasa Jawa bercampur Arab.

Rebana atau "terbang kulit" adalah alat musik tradisional yang berkembang seiring dengan penyebaran Islam di Nusantara pada abad ke-14 hingga 16. Rebana masuk ke masyarakat Jawa melalui jalur dakwah para ulama dan pedagang Muslim dari Timur Tengah dan Gujarat. Mereka tidak hanya membawa ajaran Islam, tetapi juga memperkenalkan tradisi seni, termasuk alat musik rebana sebagai bagian dari medium penyampaian dakwah.

Di masyarakat Jawa, rebana mengalami adaptasi dengan budaya lokal, melahirkan variasi dalam bentuk, ukuran, dan penggunaannya. Rebana "terbang kulit" khas Jawa menggunakan membran yang terbuat dari kulit kambing atau sapi dan sering kali dihias dengan ornamen khas Jawa seperti ukiran batik atau kaligrafi Arab.

Para santri memainkan rebana sebagai sarana dzikir berjamaah, menyanyikan pujian kepada Nabi Muhammad SAW dengan langgam yang khas. Tradisi ini bukan sekadar hiburan, tetapi juga bagian dari ritual yang memperkuat nilai spiritual dan rasa kebersamaan. Di Kudus, tradisi rebananya memiliki keunikan dengan daerah lain, yang identik dengan sebutan Terbang Papat. Rebana yang hanya terdiri dari empat alat tabuh atau terbang, disertai dengan satu pemukul jidur.

Pada 2012, rekor MURI berhasil dicatatkan atas pementasan tabuh terbang papat terlama yang berlangsung 87 jam dengan 131 grup di Masjid Agung Kudus. Terbang Papat sendiri selalu dibawakan saat mengiringi buka luwur Sunan Muria pada bulan Syuro. Selain itu saat tradisi Guyang Cekatak Sunan Muria juga ikut dimainkan. Masyarakat umumnya melakukan iringan Terbang Papat saat Muludan, hari besar Islam, atau saat ada hajatan pernikahan.

Musik sebagai Pengikat Solidaritas

Rebana berfungsi sebagai alat sosial yang mempererat hubungan antarindividu di dalam masyarakat. Dalam hajatan seperti pernikahan, khitanan, dan Maulid Nabi, grup rebana dari berbagai pondok pesantren atau desa tampil untuk memeriahkan acara. Tidak hanya melibatkan pemainnya, musik ini juga menciptakan ruang interaksi kolektif antara pendengar, tuan rumah, dan tamu. Terjadi konvergensi tradisi dengan diintegrasikannya rebana dalam ritual keagamaan Islam seperti Maulid Nabi, Tasyakuran, dan sejumlah forum pengajian.

Solidaritas ini tercipta melalui partisipasi aktif seluruh komponen masyarakat, baik sebagai pemain, penyokong acara, maupun penikmat. Rebana menjadi simbol kekompakan dan harmoni masyarakat Kudus, mengajarkan nilai gotong-royong dan kebersamaan. Sebagai warisan Nusantara, musik rebana memiliki karakter yang membedakannya dengan rebana dari negara lain. Kudus, khususnya, dapat mempertegas identitasnya melalui kombinasi irama tradisional.

Penabuh Terbang Papat khas Kudus selalu mengintegrasikan pola ritme Jawa seperti kendang atau gamelan, memberikan warna lokal pada musik rebana. Kedua, lirik yang digunakan multibahasa, dengan memanfaatkan lirik berbahasa Jawa, Indonesia, dan Arab secara bersamaan. Ini mencerminkan keberagaman budaya masyarakat Muslim Indonesia. Tentunya, pembeda rebana khas Kudus dengan daerah lain adalah penggunaan kostum khas Kudus atau dekorasi alat musik dengan motif batik Kudus.

Agar rebana tetap relevan di tengah perubahan zaman, strategi taktis perlu dilakukan. Edukasi di pesantren dengan memasukkan musik rebana sebagai bagian kurikulum seni Islami, menanamkan kebanggaan pada tradisi ini sejak dini. Festival tahunan menjadi penting untuk menjamin keberadaan rebana khas Kudus. Digitalisasi musik rebana tentu akan menjadi penyelamat  Merekam pertunjukan rebana Kudus dan menyebarluaskannya melalui platform digital untuk menjangkau audiens lebih luas, termasuk generasi muda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun