Upaya mencapai perdamaian di Gaza terus menemui jalan buntu. Berulang kali gencatan senjata diupayakan, tetapi siklus kekerasan tetap berlanjut. Kesepakatan gencatan senjata yang dimediasi Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar, ternyata tidak bisa menjamin perdamaian di Gaza. Masyarakat internasional tentu menyambut positif dengan meredanya eskalasi konflik, meskipun sudah telanjur skeptis dengan komitmen Israel dalam menyepakati gencatan senjata..
Pasca-gencatan senjata yang diumumkan pada 15 Januari 2025 dan berlaku mulai 19 Januari 2025, serangan Israel telah menewaskan sekitar 100 warga Palestina di Gaza. Pernyataan Netanyahu yang bertekad untuk menumpas Hamas sejak Oktober 2023, justru semakin memperkuat posisi Hamas dengan kemampuannya merekrut milisi baru. Untuk memahami akar perlawanan Hamas terhadap Israel, kita harus melihat lebih dalam pada serangkaian tindakan yang dianggap sebagai pengkhianatan terhadap rakyat Palestina. Pendudukan wilayah, pelanggaran kesepakatan damai, dan pembunuhan terhadap pemimpin Hamas menjadi katalis utama konflik yang tak kunjung usai.
Pendudukan dan Ekspansi yang Menggusur Harapan
Sejak 1967, Israel secara sistematis memperluas wilayahnya melalui pendudukan Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza. Proyek pemukiman Yahudi di wilayah ini, yang oleh hukum internasional dianggap ilegal, semakin menggerus wilayah Palestina yang seharusnya menjadi bagian dari negara mereka di masa depan. Pada tahun-tahun terakhir, ribuan rumah warga Palestina dihancurkan untuk memberi jalan bagi pemukiman baru, meninggalkan jejak pengusiran massal yang melukai generasi demi generasi.
Sejak Hamas mengambil alih Gaza pada 2007, Israel menerapkan blokade ketat yang memutus akses wilayah tersebut dari dunia luar. Warga Gaza hidup dalam krisis kemanusiaan, dengan pembatasan terhadap pasokan bahan bakar, makanan, dan obat-obatan. Situasi ini tak ubahnya penjara terbuka bagi dua juta warga Gaza, di mana kemiskinan ekstrem dan keputusasaan menjadi bagian dari keseharian.
Israel menggunakan taktik pembunuhan terarah untuk melemahkan Hamas. Sheikh Ahmed Yassin, pendiri Hamas, menjadi salah satu korban serangan udara Israel pada 2004. Abdel Aziz al-Rantisi, seorang pemimpin karismatik Hamas lainnya, juga dibunuh di tahun yang sama. Strategi ini, meskipun efektif secara taktis, memicu pembalasan besar-besaran dan meningkatkan militansi di kalangan pejuang Hamas. Mohammed Deif, komandan militer Hamas, bahkan telah menjadi target serangan berkali-kali, sampai wafat pada 13 Juli 2024. Wafatnya Mohammad Deif disusul wafatnya Ismail Haniyeh pada 31 Juli 2024 dalam penyerangan di Teheran Iran.
Tewasnya para pemimpin Hamas, serangan militer yang menghancurkan, dan blokade yang mencekik masyarakat, semuanya menciptakan lingkaran kekerasan yang sulit diputus. Setiap upaya untuk meredam konflik melalui gencatan senjata seringkali hanya bersifat sementara. Ketika akar konflik berupa pendudukan, ketidakadilan struktural, dan penghinaan terhadap hak asasi manusia tetap dibiarkan, perdamaian sejati akan selalu berada di luar jangkauan.
Pelanggaran Kesepakatan Damai Oslo
Kesepakatan Oslo pada 1993, memberikan harapan baru bagi solusi dua negara. Akan tetapi Israel mengkhianati semangat perjanjian ini. Alih-alih menghentikan ekspansi pemukiman, Israel justru mempercepat prosesnya. Blokade Gaza dan serangan militer yang terus-menerus menunjukkan inkonsistensi dalam komitmen untuk perdamaian. Bagi banyak warga Palestina, ini bukan sekadar kegagalan diplomasi, tetapi penghancuran masa depan mereka.
Kompleks Masjid Al-Aqsa, situs religius paling sensitif di Yerusalem, sering menjadi titik awal eskalasi konflik. Penyerbuan oleh polisi Israel terhadap jamaah Muslim di tempat ini dianggap sebagai penghinaan terhadap nilai-nilai agama dan identitas nasional Palestina. Tindakan ini kerap memicu kemarahan massal dan menjadi katalis perlawanan bersenjata.
Pada 10 Mei 2024, Majelis Umum PBB telah menyetujui resolusi yang mendukung upaya Palestina menjadi anggota penuh PBB. Resolusi itu juga merekomendasikan Dewan Keamanan untuk mempertimbangkan ulang permohonan keanggotaan Palestina. Palestina juga akan mendapatkan beberapa hak dan keistimewaan tambahan mulai September 2024, yang mencakup kursi di antara anggota PBB di ruang sidang, tetapi tanpa hak suara. Resolusi ini membuat Palestina dapat mengusulkan dan mensponsori resolusi, dipilih sebagai ketua sidang Majelis Umum PBB dan berbagai komite, serta berpartisipasi penuh dalam konferensi di bawah PBB, namun tidak dapat memilih atau tidak memiliki hak suara. Resolusi tidak memberikan keanggotaan penuh PBB kepada Palestina, melainkan mengakui bahwa mereka memenuhi syarat untuk bergabung sebagai anggota.