Belakangan ini, kasus keracunan makanan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) di beberapa daerah. Puluhan siswa dan guru di SDN 3 Nunukan Selatan, Kalimantan Utara mengalami diare yang diduga dari menu basi MBG pada 13 Januari 2025. Disusul kemudian keracunan terjadi pada 50 siswa SDN 3 Sukoharjo, Jawa Tengah, usai memakan ayam yang dimarinasi dalam program MBG pada 16 Januari 2025.
Program MBG yang bertujuan mulia untuk meningkatkan gizi siswa, justru menghadapi tantangan serius dan merugikan kesehatan anak-anak. Fenomena ini mencerminkan berbagai aspek yang memerlukan perhatian serius, mulai dari kelalaian, evaluasi prosedur, pengawasan, hingga keselamatan siswa. Jauh sebelumnya, tragedi keracunan makan gratis pernah menimpa puluhan siswa SD di Kapanewon Bantul pada 12 September 2024. Sebulan berikutnya, sebanyak 7 siswa SDN Banaran, Kecamatan Kertosono, Nganjuk, mengalami keracunan makanan pada 4 Oktober 2024. Cemaran bakteri diduga terjadi pada 300 paket makanan sebagai uji coba makan siang gratis di Nganjuk.
Kelalaian yang Berujung Petaka
Kasus-kasus keracunan makanan umumnya disebabkan oleh kontaminasi bakteri, penggunaan bahan pangan yang tidak segar, atau kelalaian dalam proses pengolahan makanan. Di Sukoharjo, misalnya, keracunan massal diduga terjadi akibat konsumsi nasi kotak yang mengandung bahan pangan yang sudah basi. Di Nunukan, ketidaktepatan penyimpanan makanan di lingkungan tropis yang lembap mempercepat pembusukan bahan makanan. Hal serupa terjadi di Nganjuk, di mana kebersihan alat masak dan distribusi makanan menjadi faktor penyebab utama.
Kelalaian dalam rantai pengadaan makanan ini mencakup berbagai tahap, baik dari pemilihan bahan baku, proses masak, hingga distribusi ke siswa. Pengawasan yang longgar terhadap mitra penyedia makanan juga menambah risiko kontaminasi, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian besar bagi siswa dan citra program.
Kegagalan program pada fase-fase ini mengindikasikan lemahnya prosedur operasional standar (SOP) dalam penyediaan makanan. Banyak sekolah dan pemerintah daerah yang belum memiliki panduan rinci tentang pengolahan dan distribusi makanan sehat. Beberapa penyedia makanan mungkin kurang memahami standar kebersihan atau menggunakan bahan berkualitas rendah untuk menghemat biaya.
Di sisi pengawasan, peran pemerintah dan pihak sekolah sering kali tidak maksimal. Inspeksi mendadak terhadap dapur penyedia makanan jarang dilakukan, sehingga penyimpangan dalam proses penyediaan makanan tidak terdeteksi lebih awal. Padahal, inspeksi rutin dapat meminimalisir risiko yang muncul di lapangan.
Keselamatan Siswa, Prioritas yang Terabaikan
Kasus keracunan makanan telah menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan siswa, termasuk gejala seperti mual, muntah, hingga dehidrasi berat. Bahkan, beberapa siswa membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit. Insiden ini menunjukkan bahwa keselamatan siswa, yang seharusnya menjadi prioritas utama, justru terabaikan. Hal yang menjadi keprihatinan adalah potensi ketraumaan untuk menerima paket makanan gratis dalam program MBG.
Orang tua dan masyarakat dapat kehilangan kepercayaan terhadap program Makan Bergizi Gratis. Padahal, jika dikelola dengan baik, program ini dapat memberikan manfaat besar dalam mendukung tumbuh kembang anak, terutama di daerah yang tingkat stunting dan malnutrisi masih tinggi.
Untuk memastikan kejadian serupa tidak terulang, beberapa langkah strategis perlu diambil. Pengetatan SOP dan sertifikasi penyedia makanan perlu dilakukan secara tegas. Pemerintah daerah perlu menyusun SOP yang ketat dalam pengadaan makanan, mulai dari seleksi bahan baku, proses masak, hingga distribusi. Semua penyedia makanan harus memiliki sertifikasi keamanan pangan yang diperbaharui secara berkala.