Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digalakkan pemerintah Indonesia bertujuan untuk mendorong pembangunan infrastruktur untuk dapat mempercepat kemajuan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, di balik ambisi besar tersebut, muncul kekhawatiran yang tidak bisa diabaikan terkait dengan dampaknya terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kasus yang terjadi di Rempang Batam dan PIK Tangerang menjadi contoh konkret bagaimana PSN berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM, terutama dalam hal hak atas lingkungan hidup yang layak, hak atas tanah, dan hak atas kehidupan yang bebas dari penggusuran paksa.
Rempang, sebuah kawasan di Batam yang kaya dengan potensi alam dan sejarah masyarakatnya, terpilih sebagai lokasi untuk proyek industri besar dalam skema PSN. Proyek ini bertujuan untuk mengembangkan kawasan tersebut sebagai pusat ekonomi dan industri yang dapat memperkuat daya saing Indonesia di tingkat global. Namun, kebijakan tersebut justru menimbulkan protes besar dari masyarakat yang selama ini hidup di sana, khususnya warga yang telah menempati lahan tersebut selama beberapa generasi.
Berdasarkan laporan dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan media, ada indikasi kuat bahwa proses pengambilalihan tanah yang digunakan untuk proyek ini dilakukan tanpa memenuhi prosedur yang sesuai dengan hak-hak masyarakat setempat. Sebagian besar masyarakat yang terdampak mengaku tidak diberikan informasi yang jelas mengenai proyek ini, apalagi mendapat kompensasi yang layak atas lahan yang mereka huni. Ini adalah pelanggaran yang serius terhadap hak atas tanah yang dilindungi dalam konstitusi Indonesia dan peraturan internasional.
Dalam laporan Amnesty International, tercatat bahwa lebih dari 5.000 kepala keluarga di Rempang terancam kehilangan tempat tinggal mereka tanpa ada upaya yang memadai untuk menyediakan alternatif yang layak. Penggusuran yang dilakukan tanpa persetujuan atau konsultasi dengan masyarakat setempat menunjukkan adanya ketidakadilan yang merugikan hak-hak sipil dan sosial mereka.
Proyek Pantai Indah Kapuk (PIK) di Tangerang, yang juga merupakan bagian dari PSN, telah menarik perhatian besar karena skalanya yang sangat besar dan dampak lingkungan yang ditimbulkan. PIK Tangerang bertujuan untuk mengembangkan kawasan tersebut menjadi pusat bisnis dan hunian mewah yang dapat menarik investor domestik maupun internasional. Namun, pembangunan ini juga menghadirkan masalah serius bagi masyarakat lokal dan lingkungan.
Proyek ini telah menyebabkan perubahan besar pada ekosistem pesisir, merusak lahan-lahan yang sebelumnya menjadi habitat bagi berbagai spesies, serta mempengaruhi pola kehidupan nelayan yang menggantungkan hidupnya pada laut. Sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan PIK terpaksa harus menghadapi perubahan sosial dan ekonomi yang dramatis, dengan ancaman kehilangan mata pencaharian mereka akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh proyek ini. Berdasarkan penelitian Greenpeace Indonesia, pembangunan PIK mengancam kelangsungan hidup sekitar 10.000 nelayan di kawasan tersebut. Selain itu, ada bukti bahwa pembangunan ini juga memperburuk kualitas air dan menyebabkan pencemaran laut, yang mempengaruhi ekosistem laut yang sebelumnya masih sehat.
Tim Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang sering berperan sebagai penyeimbang moral dalam kebijakan nasional, juga memberikan perhatian terhadap potensi pelanggaran HAM dalam proyek-proyek besar ini. MUI menilai bahwa pembangunan yang dilakukan tanpa memperhatikan kepentingan sosial dan keadilan bagi masyarakat yang terdampak akan membawa dampak negatif pada kehidupan masyarakat, terutama bagi mereka yang termarjinalkan.
Menurut MUI, pembangunan yang mengabaikan prinsip keadilan sosial bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia, termasuk hak atas tanah, lingkungan, dan kehidupan yang layak. Dalam pandangan MUI, setiap kebijakan pembangunan harus mampu mengangkat derajat kemanusiaan, bukan justru menindas dan merugikan golongan yang lemah. Hal ini sejalan dengan prinsip maslahah atau kebaikan bersama yang menjadi dasar dalam membuat kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Bidang Informasi dan Komunikasi, KH Masduki Baidlowi menyatakan MUI menegaskan PSN PIK 2 harus segera dihentikan. Adanya informasi bahwa pembelian tanah di daerah PIK, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) justru mengalami penurunan yang biasanya naik karena adanya proyek tersebut. Masyarakat di sekitar proyek tersebut merasa resah dengan tidak jelasnya batas-batas tanah dari proyek PSN. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan memberikan kejelasan terkait wilayah PSN agar masyarakat tidak resah.
Pendekatan Berbasis HAM dalam PSN
Salah satu prinsip utama HAM adalah hak atas tanah dan sumber daya alam yang menjadi penopang kehidupan. Bagi masyarakat adat, tanah tidak hanya sekadar aset ekonomi, melainkan juga inti dari identitas budaya dan spiritual. Akan tetapi, hak ini sering kali dikesampingkan demi kepentingan "kemajuan" pembangunan atas nama PSN.
Data dari sejumlah organisasi HAM menunjukkan bahwa proses pembebasan lahan untuk proyek PSN seringkali dilakukan tanpa memenuhi prinsip-prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) sebagaimana diatur dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP). Ini bukan hanya pelanggaran hukum internasional, tetapi juga menunjukkan pengabaian terhadap konstitusi Indonesia yang menjamin pengakuan atas hak-hak masyarakat adat. Selain pelanggaran hak atas tanah, dampak lingkungan dari PSN juga menjadi ancaman besar bagi masyarakat adat. Proyek-proyek ini sering kali menyebabkan deforestasi, pencemaran air, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Ketika lingkungan mereka rusak, masyarakat adat kehilangan akses terhadap sumber pangan, air bersih, dan obat-obatan tradisional.
Menghadapi potensi pelanggaran HAM dalam proyek-proyek strategis nasional seperti Rempang Batam dan PIK Tangerang, sudah saatnya pemerintah menerapkan pendekatan berbasis hak asasi manusia (HAM) dalam setiap kebijakan pembangunan. Pendekatan ini harus memastikan bahwa hak-hak masyarakat yang terdampak dipenuhi, termasuk hak atas informasi, hak atas kompensasi yang layak, dan hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Penting untuk memastikan bahwa setiap proyek pembangunan tidak hanya berfokus pada pencapaian tujuan ekonomi semata, tetapi juga memperhatikan keberlanjutan sosial dan lingkungan. Selain itu, mekanisme pengaduan yang transparan dan akses terhadap keadilan harus disediakan bagi masyarakat yang merasa hak-haknya terlanggar.
Kasus Rempang Batam dan PIK Tangerang menyoroti dilema besar dalam pembangunan Indonesia, di mana ambisi besar untuk menciptakan kemajuan ekonomi sering kali bertentangan dengan perlindungan terhadap hak-hak dasar masyarakat dan kelestarian lingkungan. Proyek-proyek strategis nasional seharusnya tidak hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memastikan bahwa hak asasi manusia dihormati dan dilindungi.
Membangun Indonesia yang maju harus dilakukan dengan pendekatan yang berkeadilan, mengutamakan kesejahteraan masyarakat, dan menjaga keberlanjutan alam. Tanpa itu, pembangunan hanya akan menjadi ilusi yang menghancurkan kehidupan masyarakat yang seharusnya dilindungi. Proyek strategis nasional harus menjadi langkah maju bagi pembangunan, bukan menjadi jejak pelanggaran HAM. Kemajuan sejati adalah ketika kepentingan rakyat, keadilan, dan kemanusiaan berjalan seiring dengan pembangunan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H