Hari ini, sejarah baru terukir dalam lanskap politik Indonesia. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menghapuskan syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen.Â
Keputusan ini, yang telah lama dinanti dan diperjuangkan oleh berbagai pihak, membawa implikasi besar terhadap arah politik elektoral Indonesia ke depan. Sebuah hadiah berharga di awal tahun 2025.
Sejak diberlakukannya ambang batas 20 persen, pencalonan presiden seringkali menjadi arena permainan oligarki partai. Kekuatan politik terkonsentrasi pada segelintir partai besar yang menentukan peta koalisi, sehingga kandidat alternatif sulit muncul.Â
Akibatnya, pilihan rakyat dalam Pemilu kerap terbatas pada dua hingga tiga pasangan calon, bahkan ada kekhawatiran stagnasi politik akibat penguasaan oleh elite yang sama.
Setidaknya dengan dihapus ambang batas ini peluang lebih terbuka bagi partai-partai kecil mengajukan kandidat presiden.Â
Keberagaman pilihan ini diharapkan mampu memecah dominasi politik yang selama ini terlalu terkonsentrasi, memberikan ruang bagi gagasan baru, dan memperkaya dinamika demokrasi.
Arah Politik Elektoral: Fragmentasi atau Kompetisi Sehat?
Penghapusan ambang batas berpotensi melahirkan dua kemungkinan besar. Pertama, fragmentasi politik. Tanpa batas minimal dukungan, kita bisa melihat banyak calon presiden berlaga.Â
Hal ini dapat menyebabkan fragmentasi suara yang signifikan. Pemilu 2029 mungkin akan menyaksikan lebih dari lima pasangan calon, menciptakan situasi kompetisi yang kompleks.Â
Kondisi ini memunculkan risiko polarisasi dan ketidakstabilan politik, terutama jika kandidat yang lolos ke putaran kedua tidak memiliki legitimasi kuat dari rakyat.