bahasa. Dalam hal-hal lainnya, percakapan bahasa sebagai bagian dari proses interaksi budaya telah memunculkan kasta derajat sosial seseorang. Untuk itulah terdapat adagium "bahasa menunjukkan bangsa". Terlepas bangsa sebagai artian dari kesatuan kumpulan manusia yang memiliki kesamaan tekad dan tujuan, atau bangsa sebagai salah satu pembeda derajat dan martabat kemanusiaan.
Terdapat satu hal dalam menilai jati diri identitas seseorang, yaitu tuturPersoalannya, apakah bahasa Indonesia yang semula "tidak ada" dan sengaja diadakan, secara otomatis mampu menunjukkan posisi dan eksistensi bangsa Indonesia? Pertanyaannya berlanjut, apakah ada "bangsa" tertentu yang sebenarnya diwakili oleh semangat ikrar bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan?
Secara aklamasi bangsa pada pengertian kumpulan komunitas yang memiliki kesamaan tujuan terpilih sebagai pemaknaan atas bahasa menunjukkan bangsa. Penegasan tersebut didukung adanya realitas kemajemukan suku yang ada di Indonesia dihiasi dengan bahasa ibu dan dan bahasa daerah yang berlainan. Sebagai misal, bahasa Melayu untuk mewakili komunitas di Sumatera, bahasa Jawa untuk mengidentikkan komunitas Jawa, bahasa Sunda untuk mencirikan komunitas Sunda, bahasa Alor untuk menggambarkan komunitas Ambon, bahasa Bulanga untuk mencerminkan komunitas Gorontalo, bahasa Wotu untuk melukiskan komunitas Toraja, dan bahasa-bahasa lainnya.
Fakta bahwa Indonesia tidak sepenuhnya tunggal tersebut mendorong lahirnya tuntutan agar bahasa dibawa dalam konteks integralistik. Peristiwa tersebut tak pelak yang melandasi diskusi besar terwujudnya ikrar sumpah pemuda dengan mengangkat salah satu butir berupa menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Dari sudut linguistika, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang awalnya "tidak ada" dan sengaja diadakan dengan identitas baru. Dalam novel Pramoedya Ananta Toer berjudul Anak Semua Bangsa, bahasa Indonesia adalah suatu varian bahasa Melayu yang miskin kata sehingga terpaksa mengimpor kata-kata baru untuk berkembang. Proses inilah yang menjadikan bahasa Indonesia selalu hidup melalui penciptaan dalam proses penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Pelahiran identitas baru itu setidaknya berawal dari cara berbicara masyarakat Malaka yang sangat elegan dan indah sehingga terkenal dalam proses komunikasi di seluruh wilayah Hindi Belanda. Alfred Russel Wallace dalam Malay Archipelago dan Jan Huyghen van Linschoten dalam Itinerario menuliskan bahwa Malaka yang berada di semenanjung Sumatera merupakan kawasan berkumpulnya nelayan dari berbagai negara. Untuk itu, bahasa yang berkembang adalah hasil adopsi kata-kata dari segala bahasa.
Dalam prosesnya, bahasa yang termasuk sumber serapan adalah bahasa Portugis, Belanda, Inggris, Sanskerta atau Hindi, Arab, dan Tionghoa. Hal ini akan semakin jelas dengan menyebutkan jumlah kata serapan yang telah disusun oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, yaitu Belanda sebanyak 3.280 kata, Inggris sebanyak 1.610 kata, Arab sebanyak 1.495 kata, Sanskerta sebanyak 677 kata, Tionghoa sebanyak 290 kata, Portugis sebanyak 131 kata, Tamil sebanyak 83 kata, Parsi sebanyak 63 kata, dan Hindi sebanyak 7 kata. Untuk itulah bahasa Indonesia dianggap sebagai bahasa yang terbuka.
Disadari atau tidak, sesungguhnya globalisasi merupakan momentum untuk pengembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang terbuka dan adaptif terhadap bahasa lain. Proses kreatif untuk melanjutkan gerakan impor kata mestinya bukan diartikan sebagai proses pembusukan terhadap bahasa Indonesia sebagai bagian dari jati diri bangsa. Hal itu sangat tidak masuk akal, tak lain karena mengandung cacat kenyataan berupa pengingkaran terhadap proses kelahiran bahasa Indonesia sebagai identitas bahasa baru yang menyatukan bahasa asli berupa bahasa Melayu, bahasa-bahasa daerah, dan bahasa asing.
Tetapi itulah salah satu kenyataan terhadap hakikat pengingkaran bahasa Indonesia sebagai bahasa yang terbuka karena terpengaruhi oleh kesadaran tidak kreatifnya penentu kebijakan kebahasaan. Kini, ketika usia kelahiran bahasa Indonesia sejak diikrarkan sebagai bahasa persatuan sudah mencapai 81 tahun, refleksi kreativitas justru terpasung dengan "menuduh" bahasa asing sebagai virus atas sakitnya bahasa Indonesia.
Ironisnya, penentu kebijakan bahasa yang diperankan oleh Pusat Bahasa dalam menghadapi globalnya interaksi segala bahasa justru mengambil jalan pintas melalui inisiatif lahirnya UU Nomor 24 tahun 2009 tentang penggunaan bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan. UU yang disahkan pada 9 Juli 2009 ini setidaknya memiliki tiga tujuan pokok, yaitu memperkuat persatuan, menjaga kehormatan untuk menunjukkan kedaulatan negara, dan menciptakan ketertiban serta standardisasi penggunaan bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan.
Pada dasarnya pengesahan UU tersebut diharapkan mampu mengatasi berbagai masalah yang terkait dengan praktik penetapan dan tata cara penggunaan bendera, bahasa dan lambang negara, serta lagu kebangsaan dan mengatur tentang berbagai hal yang terkait dengan penetapan dan tata cara penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan, termasuk di dalamnya diatur tentang ketentuan pidana bagi siapa saja yang secara sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang terdapat di dalamnya. Namun konstitusionalisasi bahasa Indonesia ini tidak konsisten dengan hampanya aturan mengenai larangan serta pidana atas penyelewengan bahasa. Sehingga keberadaan UU dengan 9 Bab dan 74 pasal ini tidak memberi langkah praktis pada pengembangan bahasa Indonesia.