Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Human Resources - Researcher / Paradigma Institute

Penikmat kopi robusta dan kopi arabika dengan seduhan tanpa gula, untuk merasakan slow living di surga zamrud khatulistiwa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ujian Nasional, Antara Evaluasi Kecerdasan dan Pemicu Stres Akademik

1 Januari 2025   18:43 Diperbarui: 1 Januari 2025   18:43 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stres Akademik yang Rentan Dialami Para Pelajar Terkait Ujian Nasional (Sumber: KajianPustaka.com)

Sebagai orangtua dengan lima anak yang semuanya masih dalam proses sekolah, rasanya merasa perlu menyoroti kembali relevansi Ujian Nasional (UN) sebagai salah satu pilar evaluasi pendidikan di Indonesia. Dalam era globalisasi yang penuh kompetisi, pertanyaan mendasar adalah apakah UN masih menjadi instrumen yang efektif untuk mendukung perkembangan pendidikan anak, atau justru menjadi penghalang untuk menciptakan generasi yang siap menghadapi tantangan masa depan?

Ujian Nasional di Indonesia telah lama menjadi simbol penentu kelulusan siswa sekaligus tolok ukur keberhasilan sekolah. Namun, kritik terhadap sistem ini tak pernah surut. Banyak pihak menilai bahwa UN terlalu menekankan aspek kognitif semata, mengabaikan dimensi penting lain seperti keterampilan sosial, kreativitas, dan kemampuan berpikir kritis. Hal ini berimplikasi pada tekanan psikologis yang tidak sehat bagi siswa, terutama mereka yang memiliki gaya belajar berbeda-beda.

Studi dalam bidang psikologi anak menunjukkan bahwa evaluasi berbasis tes tunggal dapat mengerdilkan potensi anak. Siswa dengan kecerdasan majemuk misalnya, seringkali tidak dapat mengekspresikan kemampuan mereka sepenuhnya dalam kerangka ujian yang rigid dan seragam. Alih-alih mendukung perkembangan holistik, UN cenderung memaksakan standar yang tidak adil bagi semua individu.

Sebagai perbandingan, banyak negara maju telah meninggalkan atau mereformasi sistem evaluasi pendidikan mereka. Finlandia, misalnya, tidak memiliki ujian nasional yang sifatnya seragam. Evaluasi dilakukan secara holistik oleh guru di tingkat lokal, dengan fokus pada perkembangan individu siswa. Sistem ini memungkinkan pengajaran yang lebih personal dan relevan, memupuk rasa percaya diri siswa tanpa tekanan berlebihan.

Di Jepang, evaluasi pendidikan lebih menekankan pada pembentukan karakter dan kerja tim. Meskipun mereka tetap memiliki ujian, prosesnya dirancang untuk mengukur pemahaman mendalam daripada sekadar menghafal. Sementara itu, Amerika Serikat, meskipun masih mempertahankan tes standar seperti Scholastic Assessment Test (SAT) untuk mengukur kemampuan dasar siswa dalam bahasa, matematika, dan pemecahan masalah. Ujian model SAT versi Amerika Serikat telah mulai bergerak ke arah evaluasi berbasis proyek yang menilai kemampuan siswa dalam konteks dunia nyata.

Menata Sistem Ujian Nasional di Indonesia

Indonesia dapat belajar dari praktik-praktik ini untuk menciptakan sistem evaluasi yang lebih inklusif dan adaptif. Ujian Nasional perlu digantikan dengan metode yang mendukung perkembangan holistik anak. Hal itu sebagaimana evaluasi berbasis proyek dengan mengintegrasikan proyek-proyek yang relevan dengan kehidupan nyata, untuk dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan praktis dan berpikir kritis. Asesmen formatif digunakan oleh guru di setiap sekolah secara mandiri untuk dapat memantau perkembangan siswa secara berkelanjutan, bukan hanya melalui satu ujian besar.

Evaluasi sesungguhnya tidak hanya menjadi tanggung jawab guru, tetapi juga melibatkan masukan dari orang tua untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang perkembangan anak. Oleh karenanya, dibutuhkan kolaborasi antara guru dan orangtua. Guru dapat memandu siswa untuk membuat portofolio yang mencerminkan perjalanan belajar mereka. Portofolio ini berisi proyek, laporan, dan refleksi pribadi yang menggambarkan perkembangan siswa secara holistik. Siswa diberikan tugas kolaboratif yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Guru bertindak sebagai fasilitator, sementara orang tua memberikan dukungan di rumah, seperti membantu mencari sumber daya atau memberikan wawasan praktis. Orang tua dapat dilibatkan dengan memberi masukan pada pencapaian anak di luar sekolah. Jadwal pertemuan berkala antara guru, siswa, dan orang tua untuk mengevaluasi kinerja siswa. Diskusi ini mencakup aspek akademik, sosial, dan emosional, dengan solusi yang dirumuskan bersama.

Ujian siswa tidak hanya terfokus pada nilai akademik. Guru dan orang tua harus memastikan bahwa aspek karakter, kesehatan mental, dan keterampilan sosial juga dinilai secara proporsional. Baik guru maupun orang tua perlu menanamkan pemahaman bahwa proses belajar sama pentingnya dengan hasil akhir. Setelah evaluasi dilakukan, guru dan orang tua menyusun rencana untuk mengatasi kekurangan siswa, baik dengan dukungan di sekolah maupun di rumah.

Menuju Indonesia Emas 2045

Indonesia [C]emas (Sumber: kuninganmass.com)
Indonesia [C]emas (Sumber: kuninganmass.com)
Untuk mencapai Indonesia Emas 2045, kita membutuhkan generasi yang bukan hanya cerdas secara akademis, tetapi juga inovatif, tangguh, dan adaptif. Sistem evaluasi yang inklusif, holistik, dan relevan dengan tantangan zaman adalah kunci untuk mencapainya. Menghapus Ujian Nasional sebagai ujian tunggal bukan berarti menghilangkan evaluasi, tetapi menggantinya dengan sistem yang lebih manusiawi, berorientasi pada masa depan, dan mendukung perkembangan anak secara menyeluruh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun