Di tengah kemegahan arsitektur Jawa yang sarat makna filosofis, Masjid Menara Kudus berdiri sebagai simbol toleransi dan akulturasi budaya. Dibangun oleh Sunan Kudus pada sekitar 1549 M, masjid ini bukan hanya sebuah tempat ibadah, melainkan juga monumen hidup dari perpaduan budaya Islam, Hindu, dan Budha yang harmonis. Akulturasi ini mengandung pesan mendalam tentang bina damai yang relevan hingga saat ini.
Masjid Menara Kudus memiliki keunikan yang tak tertandingi. Menaranya menyerupai candi Hindu dengan struktur bata merah, sementara delapan pancuran wudhu dihiasi makara kepala singa, simbol khas agama Budha. Angka delapan sendiri memiliki makna filosofis yang mendalam dalam tradisi Budha, melambangkan jalan pencerahan dan harmoni.
Jumlah delapan arca setidaknya mekanisme lain dari Sunan Kudus dalam mengadaptasi ajaran Budha "Jalan Mulia Berunsur Delapan" atau Ariya Atthangika Magga. Sang Buddha menjelaskan dalam Digha Nikaya atau kumpulan ceramah panjang dan diskusi-diskusi panjang Budha, dijelaskan dalam Majjhima Nikaya berisi ceramah menengah Budha, dan dijelaskan Samyutta Nikaya tentang ceramah yang sudah dikelompokkan dalam beberapa tematik, bahwa melalui pelaksanaan Ariya Atthangika Magga maka setiap makhluk akan terbebas dari pemuasan nafsu sekaligus dari penyiksaan diri yang menyebabkan penderitaan.
Makara pada pancuran air ini adalah representasi adaptasi budaya lokal. Dalam perspektif Sunan Kudus, elemen ini bukan sekadar dekorasi, tetapi alat dakwah untuk mendekatkan ajaran Islam kepada masyarakat Hindu-Budha pada masanya. Dengan menggunakan simbol yang sudah akrab di hati masyarakat, Sunan Kudus menunjukkan bagaimana Islam dapat disampaikan tanpa menghapus tradisi yang telah ada, melainkan merangkul dan mengharmonisasikannya.
Penyucian diri kaum muslim melalui ritual keagamaan wudhu dapat memiliki kesamaan sesuai literatur Buddhis berupa pengendalian nafsu indera. Hawa nafsu muncul karena lima landasan indera, yaitu mata, telinga, hidung, lidah, dan jasmani, yang semuanya mengarah pada obyek kepuasan maupun kesenangan. Landasan indera agar tidak terjadi pemuasan hawa nafsu, dibasuh oleh kaum muslim melalui air suci wudhu yang memancar dari mulut delapan arca makara. Transmisi nilai keberagamaan demikian tentu dapat dilakukan oleh seorang ahli tasawuf dan ahli ushul fiqih, sebuah identitas yang sangat melekat bagi kaum muslim di Kudus sebagai warisan keilmuan Sunan Kudus.
Konsep Kebo Gumarang dan Banyu Panguripan
Sunan Kudus dikenal tidak hanya sebagai seorang ulama, tetapi juga sebagai pemikir strategis dalam membina kedamaian. Konsep Kebo Gumarang dan Banyu Panguripan adalah contoh bagaimana beliau menggunakan simbol lokal untuk menyampaikan nilai-nilai Islam. Sunan Kudus yang dikenal dengan nama Sayyid Jakfar Shadiq itu telah melakukan mekanisme internal bagi kaum muslim Kudus di abad 16 melalui pengembangan spiritualitas baru. Reinterpretasi teks sekaligus dialog antar aliran fikih, aliran teologi, dan aliran tasawuf telah memunculkan corak baru dalam beragama. Larangan memotong sapi sebagai hewan qurban bagi kaum muslim Kudus adalah mekanisme bina damai secara internal untuk tidak menimbulkan konflik dengan komunitas Hindu.
Pada komunitas Hindu, sapi merupakan hewan suci sebagaimana cerita dialog antara Sri Krishna kepada Yudhistira tentang lima sapi suci yang terdiri dari Nanda, Subhadra, Surabhi, Susila, dan Bahula. Kelima sapi itulah yang kemudian dianggap dapat memberikan semua keinginan makhluk dengan sebutan Kamadhenu. Perbedaan nilai budaya maupun doktrin yang cenderung melahirkan shock culture, dapat dikelola dengan penciptaan solidaritas sosial yang terstruktur di tengah masyarakat muslim Kudus. Ritual keagamaan dan pemanfaatan simbol agama setidaknya menjadi langkah efektif untuk menekankan tercapainya toleransi lintas agama. Sebagaimana mengutip teori konstruksi sosial, strategi internal policing yang diterapkan Sunan Kudus dalam pelarangan potong sapi adalah obyektivikasi realitas berdasarkan pengalaman kolektif.
Transmisi budaya pelarangan potong sapi di tengah masyarakat Kudus dan sekitarnya, masih berjalan sampai saat ini atau berjalan sekitar 600 tahun. Sapi adalah hewan yang halal atau boleh dimakan dagingnya bagi kaum muslim. Akan tetapi, pembentukan mental model bahwa Sunan Kudus adalah sosok keramat yang tidak mau memotong sapi, memengaruhi sifat kepatuhan kaum muslim terhadap Sunan Kudus sebagai role model dalam beragama. Dalam doktrin Islam, sapi disebut melalui surat Al-Baqarah yang artinya sapi betina. Strategi budaya dilakukan oleh Sunan Kudus dengan memelihara seekor sapi di halaman masjid, sekaligus mengajarkan substansi keimanan dan keshalehan sosial dari Surat Al-Baqarah. Masyarakat setempat kemudian lebih mengenal sapi peliharaan Sunan Kudus itu dengan nama "Kebo Gumarang".
Kebo Gumarang, yang dalam tradisi Jawa dianggap sebagai simbol kekuatan dan pengabdian, diinterpretasikan Sunan Kudus sebagai metafora untuk keteguhan dalam iman dan kerja keras dalam kehidupan. Sementara itu, Banyu Panguripan, atau air kehidupan, adalah simbol spiritualitas Islam sebagai sumber kehidupan rohani dan pencerahan.