seni serta sastra yang jarang mendapat sorotan.
Lima belas tahun sejak wafatnya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), 30 Desember 2009, bangsa ini terus mengenang kiprahnya sebagai tokoh yang mengukuhkan fondasi pluralisme, kebebasan beragama, dan hak asasi manusia (HAM). Namun, di luar peran besarnya dalam bidang politik dan sosial, Gus Dur juga seorang pengagum, pembela, dan pelakuGus Dur percaya bahwa seni dan sastra adalah cerminan peradaban, alat yang tidak hanya memperindah kehidupan, tetapi juga menyuarakan kebenaran, kritik, dan empati. Dalam konteks Indonesia pascareformasi, ketika kualitas seni dan sastra menghadapi tantangan serius, warisan Gus Dur tentang bagaimana memperjuangkan kebudayaan menjadi refleksi yang relevan.
Gus Dur adalah seorang pembaca dan penulis yang produktif. Banyak esainya menggambarkan kedalaman pikirannya dalam melihat relasi seni, sastra, dan kemanusiaan. Dalam berbagai kesempatan, ia mengadvokasi kebebasan berekspresi, menolak sensor yang represif, dan membela seniman dari berbagai latar belakang. Gusdur dalam cerita sahabat karibnya, KH. Mustofa Bisri atau akrab dipanggil Gusmus, sangat hobi nonton bioskop selama studi di Mesir. Suatu aktivitas yang setidaknya menjadi pondasi sebagai kritikus film.
Sepulangnya dari belajar di Timur Tengah atau kisaran akhir 1970-an, Gusdur dikenal lebih sering ceramah tentang kesenian dan kebudayaan di lingkungan Taman Ismail Marzuki. Gusdur pun terpilih sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 1982-1985, yang menjadikan "geger" mempertanyakan kadar kesenimanan cucu pendiri NU itu. Pada rentang waktu antara 1985-1987, Gusdur pun terlibat sebagai juri Festival Film Indonesia, yang salah satunya menobatkan film terbaik berjudul Nagabonar, dengan sutradara terbaik Slamet Rahardjo, serta aktor dan aktris terbaik diraih Deddy Mizwar dan Widyawati.
Salah satu kontribusi monumental Gus Dur terhadap seni adalah perjuangannya melawan diskriminasi terhadap seni tradisional dan minoritas. Ia menghidupkan kembali penghormatan terhadap budaya Tionghoa yang selama Orde Baru dikebiri, seperti barongsai dan perayaan Imlek. Gus Dur juga menjadi jembatan dialog bagi komunitas seni lintas agama dan budaya. Di dunia sastra, Gus Dur adalah pendukung setia karya-karya Pramoedya Ananta Toer yang kala itu menjadi korban represi Orde Baru. Ia memahami bahwa sastra yang kritis terhadap kekuasaan adalah bagian tak terpisahkan dari proses demokratisasi dan pembebasan.
Seni dan Sastra Indonesia Pascareformasi: Kemunduran atau Transformasi?
Pascareformasi, seni dan sastra Indonesia berkembang dengan lebih bebas. Namun, kemajuan ini tidak selalu diiringi peningkatan kualitas. Sastra Indonesia pasca-reformasi dapat difahami telah terjebak komersialisasi. Fenomena "sastra populer" yang seringkali dangkal telah menggeser perhatian dari sastra bermuatan kritik sosial. Gus Dur, yang selalu menekankan pentingnya makna dalam seni, pasti akan prihatin melihat perubahan ini. Jika pada era Pramoedya dan W.S. Rendra sastra menjadi alat perlawanan, kini banyak karya sastra terjebak dalam tuntutan pasar.
Di dunia perfilman, kemajuan teknologi dan kebebasan berekspresi pascareformasi menghasilkan lonjakan jumlah produksi film. Namun, kualitas cerita dan pesan sering kali diabaikan demi keuntungan komersial atau mengejar rating jumlah penonton di bioskop. Film-film dengan tema mendalam dan progresif, seperti yang dihasilkan oleh Teguh Karya atau Usmar Ismail, kini menjadi langka. Film-film yang dihasilkan seolah tidak memiliki ideologis perubahan sosial atau pesan moral masyarakat berkeadilan. Genre film yang diproduksi cenderung pada simbolisasi kekerasan, percintaan, dan kehororan. Sejumlah film itu sebagaimana jelang festival film 2024 kemarin, seperti Sehidup Semati, Pemukiman Setan, Menjelang Ajal, Malam Pencabut Nyawa, termasuk Rumah Dinas Bapak. Â
Di tengah arus globalisasi, seni tradisional Indonesia kehilangan panggungnya. Ruang untuk wayang, seni pertunjukan daerah, atau sastra lisan semakin menyempit. Gus Dur, yang berjuang melestarikan wayang sebagai warisan dunia, pasti akan menyerukan kebijakan lebih tegas untuk melindungi seni tradisional ini. Refleksi atas perjuangan Gus Dur di bidang seni dan sastra memberikan kita peta jalan untuk menghidupkan kembali kebudayaan bangsa.
Terdapat sejumlah prinsip yang perlu dianut serta masih memiliki relevansi untuk diterapkan. Pertama, kebebasan ekspresi dengan tanggung jawab. Gus Dur percaya pada kebebasan seni, tetapi dengan tanggung jawab untuk memajukan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks saat ini, seniman dan sastrawan harus berani kembali mengangkat tema-tema sosial yang menggugah kesadaran masyarakat. Kedua, perlindungan seni tradisional. Pemerintah harus memperkuat kebijakan perlindungan seni tradisional. Pendidikan seni budaya harus menjadi prioritas, termasuk di sekolah-sekolah. Selain itu, seni tradisional harus diberi ruang dalam festival nasional dan internasional. Ketiga, mendorong sastra dan film bermutu. Untuk meningkatkan kualitas sastra dan perfilman, perlu ada program beasiswa dan penghargaan bagi karya-karya berkualitas. Gus Dur adalah contoh bahwa intelektual yang mencintai seni dapat mendorong terciptanya karya yang menginspirasi.
Gus Dur mengajarkan bahwa seni adalah bahasa universal yang dapat mendekatkan berbagai kelompok budaya. Dalam konteks Indonesia yang plural, seni dapat menjadi medium untuk merajut kembali persatuan. Lima belas tahun setelah kepergiannya, warisan Gus Dur di bidang seni dan sastra menjadi pengingat bahwa kebudayaan adalah inti dari identitas bangsa. Di tengah tantangan globalisasi, komersialisasi, dan intoleransi, semangat Gus Dur untuk memperjuangkan seni sebagai alat pembebasan harus dihidupkan kembali.