Ada momen-momen dalam hidup ketika kenyataan terasa seperti adegan dari film bencana besar. Melewati kemacetan banjir rob di Sayung, Demak, setiap langkah, percikan air, dan suara mobil yang terpaksa membelah pelan melintasi genangan sehingga menimbulkan ombak seperti tengah samudra, mengingatkan saya pada adegan dari The Day After Tomorrow. Bukan sekadar fiksi sebagaimana film yang rilis pada 2004, perjalanan ini adalah potret nyata bagaimana manusia bertahan di tengah amukan alam yang berubah.
Seperti dalam film, setahun perjalanan saya di setiap akhir pekan melewati Sayung, selalu dimulai dengan perasaan waspada. Dari kejauhan, terlihat genangan air yang meluas, memeluk jalanan, memaksa adanya antrian panjang dan perlahan. Mobil yang saya tumpangi berhenti beberapa kilometer sebelum area terparah, dan sisanya harus dilanjutkan dengan jalan dan berhenti yang tiada bisa diterka. Air asin menyentuh kaki-kaki mobil dan memercik ke kaca kanan kiri maupun depan dan belakang, membawa aroma khas laut yang menyatu dengan tanah basah.
Di Sayung, banjir rob bukan kejadian sesekali. Ini adalah keseharian, babak panjang yang terus berlangsung. Penduduk telah beradaptasi, rumah panggung dibangun atau terpaksa pindah dengan meninggalkan rumah dalam reruntuhan tak berpenghuni, jalanan dinaikkan, tetapi air tetap kembali, mengklaim ruangnya.
Dalam The Day After Tomorrow, protagonis berjuang melawan badai salju dan perubahan iklim yang dahsyat. Di Sayung, perjuangan adalah melawan banjir pasang surut yang perlahan tetapi pasti. Orang-orang kadang peka berantri dengan sabar melewati genangan banjir air laut, namun seringkali juga terjadi ajang rebutan menguji kesabaran seperti tidak peduli pada ancaman serius yang mengintai. Saya bertanya kepada seorang warga yang sudah tua, "Bagaimana rasanya hidup seperti ini bertahun-tahun?" Jawabannya singkat, tetapi penuh makna: "Kita tidak punya pilihan."
Ironisnya, penduduk di Sayung dan sekitarnya yang tidak punya pilihan melintas jalan lain, tampaknya lebih tangguh daripada para karakter dalam film bencana. Mereka tidak hanya bertahan tetapi juga mencoba menemukan kebahagiaan di tengah kesulitan. Namun, jelas bahwa ini bukan solusi permanen. Semakin banyak lahan daratan yang hilang, semakin sulit mencari nafkah. Alam terus mendesak, dan manusia terpaksa mundur sedikit demi sedikit.
Seperti film bencana yang selalu menyisakan pertanyaan, perjalanan ini tidak menawarkan resolusi. Tidak ada perbaikan instan atau pahlawan yang datang menyelamatkan. Pemerintah telah mencoba berbagai upaya, dari pembangunan tanggul hingga pengelolaan air, tetapi banjir tetap menjadi tamu yang tidak diundang.
Melalui perjalanan ini, saya melihat Sayung sebagai potret kecil dari krisis iklim global. Jika dalam The Day After Tomorrow badai dan banjir menjadi peringatan besar, di sini banjir rob adalah bisikan yang pelan tetapi mematikan. Dunia sedang berubah, dan Sayung menjadi saksi bisu dari efek domino yang disebabkan oleh pemanasan global.
Saat mobil saya perlahan menjauh dari genangan, saya menyadari bahwa kisah Sayung adalah kisah kita semua. Dalam film, bencana besar mengajarkan manusia untuk bersatu dan melawan perubahan iklim. Dalam kenyataan, kita belum benar-benar bergerak ke arah itu. Perjalanan ini bukan hanya tentang melewati banjir rob tetapi juga tentang melihat bagaimana kita sebagai manusia harus beradaptasi dan bertanggung jawab. Alam mungkin tidak lagi memberikan peringatan, tetapi dampaknya sudah nyata. Akankah kita memilih bertahan seperti penduduk Sayung, atau berusaha mengubah arah sebelum terlambat?
Di akhir perjalanan, saya meninggalkan Sayung dengan perasaan campur aduk, kagum pada ketangguhan manusia, tetapi juga sadar akan kerentanannya. Seperti The Day After Tomorrow, kita harus bertanya pada diri sendiri, apakah ini hanya permulaan dari sesuatu yang lebih besar?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H