Pantura Timur Jawa Tengah, yang membentang dari Brebes hingga Rembang, adalah salah satu wilayah yang memiliki pesona alam dan potensi ekonomi luar biasa. Namun, potensi tersebut sedang tergerus oleh ancaman abrasi laut yang kian mengkhawatirkan. Berdasarkan data Badan Informasi Geospasial (BIG), sekitar 55 kilometer garis pantai Jawa Tengah telah mengalami abrasi parah. Sayangnya, upaya untuk memitigasi bencana ini belum maksimal. Kini, kebutuhan mendesak untuk membangun sebuah Mangrove Center sebagai solusi komprehensif semakin tak terelakkan.
Mangrove bukan sekadar kumpulan pohon di pesisir, ia adalah benteng hidup yang melindungi pantai dari hempasan gelombang laut. Ekosistem mangrove mampu meredam abrasi, mengurangi dampak gelombang tinggi air laut, serta menjadi rumah bagi berbagai flora dan fauna pesisir. Namun, di Pantura Timur, alih fungsi lahan untuk tambak dan permukiman telah memangkas luas hutan mangrove secara signifikan.
Ironisnya, masyarakat pesisir yang paling terdampak justru belum sepenuhnya memahami pentingnya mangrove. Di sinilah urgensi pembangunan Mangrove Center, yang tidak hanya berfungsi sebagai pusat rehabilitasi ekosistem tetapi juga menjadi wahana edukasi dan wisata berbasis lingkungan.
Peluang Wisata Berbasis Ekologi
Konsep wisata mangrove telah terbukti sukses di banyak daerah, seperti Mangrove Wonorejo di Surabaya atau Mangrove Karangsong di Indramayu. Mengapa Pantura Timur tidak mengikuti jejak serupa? Dengan potensi alam yang dimiliki, Mangrove Center dapat menjadi destinasi wisata berbasis ekologi (ecotourism) yang menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Di Mangrove Center ini, pengunjung dapat menikmati jalur tracking, menanam bibit mangrove, hingga menjelajahi kawasan dengan perahu kecil. Selain itu, pusat ini juga dapat menjadi tempat edukasi tentang pentingnya konservasi lingkungan, yang menyasar pelajar, mahasiswa, hingga komunitas lokal. Wisata yang terintegrasi dengan pelestarian alam semacam ini akan memberikan dampak ganda: melindungi ekosistem sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat.
Selain menjadi solusi wisata, Mangrove Center juga berpotensi menjadi motor penggerak ekonomi hijau (green economy). Masyarakat pesisir dapat dilibatkan dalam pengelolaan wisata, mulai dari menjadi pemandu, pengelola homestay, hingga pelaku UMKM yang menjual produk lokal seperti kerajinan tangan dan kuliner khas.
Produk turunan mangrove seperti sirup buah pedada atau batik pewarna alami dari daun mangrove dapat dikembangkan sebagai komoditas unggulan. Dengan demikian, Mangrove Center tidak hanya membantu mencegah abrasi tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat pesisir.
Untuk merealisasikan Mangrove Center, dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat. Pemerintah daerah harus mengalokasikan anggaran khusus untuk rehabilitasi mangrove, sementara sektor swasta dapat berkontribusi melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Selain itu, keterlibatan komunitas lokal sangat penting. Dengan memberikan pelatihan tentang pengelolaan ekowisata dan konservasi mangrove, masyarakat akan merasa memiliki dan turut menjaga keberlangsungan proyek ini. Institusi pendidikan juga dapat terlibat dengan menyediakan penelitian serta inovasi teknologi yang relevan untuk mendukung pembangunan Mangrove Center.
Jackson. KT melalui bukunya Crabgrass Frontier (1985) memaparkan adanya tren masyarakat modern untuk melakukan perpindahan dari pusat kota menuju pinggir kota. Maka pernyataan Jackson hampir empat puluh tahun tersebut menjadi pembenaran ketika sekarang usaha properti bangkit dengan menawarkan surga hunian besar-besaran melalui ekspansi daerah pinggiran kota. Ironisnya, hunian-hunian sekaligus kawasan industri yang dikembangkan cenderung menjorok menuju kawasan pesisir pantai karena keindahan. Melalui argumentasi penghematan lahan perkotaan yang kian menyempit serta mengurangi masalah psikologis masyarakat perkotaan, gaya hidup back to village justru mengancam kawasan vegetasi alam pesisir berupa hutan mangrove.