Rumah yang beralamat Jalan Raya Parung Banteng Nomor : 120 Kelurahan Katulampa Kecamatan Bogor Timur, merupakan sebuah galeri yang memajang hasil kerajinan kujang yang sudah dibuat.
Namun suasana berubah saat di tempat penempaan sedikit berisik karena beberapa pengrajin sedang fokus mengasah sebuah kujang yang baru saja dibuat. Tidak lama kemudia datang seorang pria yang merupakan seorang pemilik dari tempat kerajinan tersebut. Pria itu bernama Wahyu Affandi Suradinata atau biasa disapa Abah Wahyu.
"Kujang sudah bukan hal yang aneh pada abad ke delapan. Karena kujang sudah di pakai pada abad ke delapan oleh para pejabat. Karena kujang dalam keteranganya tidak ada kujang yang dipegang atau jadi ademan atau simbol rakyat jelata.
Sejak saat itu, Kujang secara bertahap diperuntukkan bagi raja dan bangsawan kerajaan di Tanah Sunda sebagai simbol kewibawaan dan kesaktian.
Kujang ini merupakan simbol atau ademan untuk para pejabat kerajaan mulai dari raja kemudian para pandita, bupati, dan patih mantri sampai kepada kanduru. Kujang berasal dari kata Ku Jawa Hyang atau Ku Dyah Hyang, dengan tahapan: Kujang asal kata dari Kudi Hyang atau Ku Dyah Hyang," jelas Abah sambil menunjukan beberapa kujang hasil karyanya. berbagai macam posisi akan terlihat seperti wayang.
Mengenai pemahaman bentuk kujang secara umum adalah memiliki kecendrungan yang kuat memberi pemahaman kujang berdasar kepada gejala mimiesis. Di didalam masyarakat Sunda gejala tersebut bisa di sebut dengan istilah "siga" (menerupai) dalam melihat berbagai macam fenomena penyerupaan.
Seperti contoh penamaan kujang kuntul, karena dianggap bentuk penyerupai burung kuntul (Ardeidae), kujang ciung karena di anggap bentuknya menyerupai burung ciung (Beo) dan sebagainya. Dengan demikian kujang dapat di urai kedalam morfologi bentuk kujang yang dipandangkan dinamika dalam bentuk binatang.
Kujang mempunyai dua sisi yang tajam sehingga bisa dikatakan dua pangadekna atau dua mata yang tajam. Sehingga kujang bukan hanya menusuk tetapi juga untuk menyabet lalu Abah menambahkan "kujang bukan senjata untuk perang hanya sebagai bentuk fingsinya pada jaman dahulu kujang memiliki beberapa fungsi yaitu menjadi pusaka biasanya kalau kujang menjadi pusaka, untuk pakarang atau sebagai alat untuk bela diri itupun kalau di serang, biasanya bilahnya disebar atau di tabur racun supaya kalau kena sedikit saja lawan sudah tumbang dan untuk memangkas biasanya untuk memangkas semak belukar yang akan dijadikan ladang."
Dengan berkembangnya kemajuan, teknologi, budaya dan perkembangan sosial ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan perubahan bentuk, fungsi dan makna.
Dari alat pertanian, kujang berkembang menjadi suatu benda yang mempunyai karakter tersendiri, cenderung menjadi senjata yang mempunyai nilai simbolis dan sakralelain itu, kujang digunakan sebagai lambang atau simbol dari nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya.