Mohon tunggu...
jaenujis
jaenujis Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Generasi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Islam Nusantara Dalam Perspektif Ke-Azharan

5 September 2015   20:15 Diperbarui: 6 September 2015   03:28 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Islam dan Nusantara adalah dua kata yang masing-masing mempunyai makna dan kedua kata tersebut digabungkan untuk membentuk frase. Maka jadilah rangkaian Islam Nusantara yang memperlihatkan hubungan erat antara bagian yang yang diterangkan-menerangkan (Ramlan, 1985) meski tanpa menimbulkan makna baru.[caption caption="Islam tetap Islam"][/caption]

Maka terma Islam Nusantara sama halnya dengan terma Islam di Nusantara, atau Islam dan Nusantara. karna dalam bahasa indonesia sendiri, penggabungan dua kata ini disebut aneksi. Dengan demikian, pilihan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu cukup benar menurut penalaran dan secara ilmu pengetahuan dengan mempertimbangkan tidak menyalahi patokan bahasa Indonesia, dan tidak merusak arti Islam dan Nusantara itu sendiri

Hanya saja terma Islam Nusantara bukanlah bentuk pengembangan Agama Islam, islam Nusantara itu paham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan realita dan budaya setempat (Afifuddin Muhajir. 2015)..

Terma Islam Nusantara lahir dari rahim Nahdlatul Ulama, hanya dari sisi konsekuensi, islam Nusantara lebih selamat mengingat tidak menimbulkan kekacauan arti. Memiliki pemahaman Islam yang ramah, peduli kepada kebenaran, sejuk, dan keadilan sesui dengan kondisi Indonesia.

Berarti, ini membuktikan Islam Agama yang bijak, melalui budaya lokal islam didekatkan    selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sejatinya Islam adalah Agama samawi yang di ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, berpedoman pada kitab suci al-Qur`an yang di turunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT. Sedangkan Nusantara sebuah sebutan bagi seluruh wilayah kepulauan indonesia.

Islam Nusantara bukanlah pecahan dari Islam, dan bukanlah Agama baru ataupun aliran baru, melainkan indahnya Islam dalam potret keberagamaan masyarakat Nusantara yang memiliki ragama budaya yang melimpah. Bukan juga sinkretisme agama yang memadukan dan mecampuradukkan berbagai keyakinan. Islam dari langit, nusantara dari bumi, jadi Islam Nusantara, katanya, merupakan ajaran Islam yang menyadari bumi tempatnya berpijak atau dengan bahasa lain Islam Nusantara adalah ajarana langit yang membumi keberislaman tidak menghilangkan tradisi selama tidak bertentangan dan keluar dari koridor ajaran Islam yang di bawa Nabi Muhammad SAW berdasarkan al-Qur`an dan hadits.

Profesor Abdel-Moneem Fouad, dekan Dirasah Islamiyah untuk Mahasiswa Internasional Universitas al-Azhar, kairo, dalam seminar pra-Muktamar NU-Kompas menyatakan “Islam hanya satu, tidak ada Islam Nusantara, Islam Arab, atau Islam Mesir.

Emang benar Islam hanya satu,  pandangan ini harus mempertimbangkan realitas historis empiris perjalanan Islam sepanjang sejarah di berbagai wilayah beragam yang memiliki realitas sosial, budaya, dan politik yang berbeda, selain itu juga hendaknya mengetahui konsep dan arti Islam Nusantara itu sendiri, yang berarti Islam di Nusantara adalah Islam yang bercorak budaya Nusantara. jadi, Islam itu Agama dan Nusantara itu kebudayaa.  Jangan sampai mengartikan “Islam Nusantara” itu bersumber dari apa yang ada di Nusantara, tetap sumber agama Islam al-Qur`an al-Qur`an dan Hadits.

Sehingga, ketika al-Qur`an dimaknai, dipahami, dan diekspresikan, wujud Islam tak lagi tunggal. Warna warni mazhab fikih, aliran kalam, tasawuf, dan tradisi keagamaan yang berkembang di berbagai starata, etnis, dan bangsa-bangsa Muslim adalah bukti keragaman pemahaman atas norma ideal yang di kandung al-Qur`an. (Romly, 2015)

Islam Nusantara hanya kritis terhadap tradisi Arab yang dianggap bahwa itu loh Islam, contoh: pakaian gamis ala saudi bagi pria khususnya lebih baik karena itu “pakaian Islam”, bahkan ada sebagian yang mewajibkan dirinya berpakaian model itu. Apakah salah indonesia dengan baju batiknya, samping sebuah kain yang di pakai untuk beribadah dari pusar sampai atas mata kaki, songkok sebuah penutup kepala terbuat dari kain ?  jelas tidak, sah saja selama tidak keluar dari kolidor Islam, dalam beribadah khusunya. Nabi memakai sorban, karna sorban itu budaya Nabi dan kaumnya pada zamannya, apa kita wajib pakai sorban ?, tidak ada hadits yang menunjukan keutaman dan mendapat pahala memakai sorban. Karena, sorban dan jubah bukanlah bagian dari “Agama” yang harus diikuti, melainkan keduanya budaya. Shalat pakai samping, peci dan batik itu tidak bertentangan dengan Islam, beda halnya shalat pakai koteka berasal dari budaya Nusantara, sudah jelas itu bertentangan dengan ajaran Islam. Jadi Islam itu agama, Nusantara itu budaya, tidak bisa disatukan agama dan budaya.

Untuk konteks Nusantara lebih di anjurkan mamakai batik dari pada jubah, bahkan itulah kesunahannya. Karena menyesuaikan tradisi setempat dengan catatan tidak bertentangan dengan Syariat sendiri merupakan bagian jiwa keberagamaan ala Nabi SAW.

Bukan berarti Islam Nusantara anti Arab, sudah jelas al-Qur`an berbahasa Arab, dan Nabi Muhammad berasal dari Arab, tapi Islam itu bukan Arab sentris, Islam berdasarkan al-Qur`an dan Hadits. Tidak semua budaya Arab kita telan, sebab ada budaya Arab yang bertentangan dengan ajaran Islam . contohnya, minum khamar di zaman Nabi, beristri 4.

Islam melebur dengan budaya tersebut karena pendekatan dakwah di Nusantara ini . bagaimana sunan kalijaga, salah satu dari Wali Songo, menyebarkan agama Islam melalui pendekatan budaya. Menurutnya, kebudayaan memiliki tiga aspek. Yaitu, ekspresi (permukaan), substansi, dan nilai. Bukan hanya Wali Songo saja (antara abad XI-XIV M), Syekh Abdurrauf Singkil, Aceh (1615-1693), Syekh Yusuf al-Makassari (1626-1699), Kiai Ahmad Khatib Sambas (1803-1875), Kiai Nawawi al-Bantani (1813-1897), Kiai Mahfudz at-Termasi (1868-1920), Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860-1916), Kiai Kholil Bangkalan al-Maduri (1820-1925), Muhammad Yasin al-Fadani (1917-1990), Kiai Ahmad Dahlan (1868-1923), Kiai Hasyim Asy`ari (1875-1947), dan masih banyak lagi. Mereka semua tokoh Muslim Nusantara yang berhasil mendialogkan risalah Islam dengan tradisi kenusantaraan.

Lebih jauh lagi, para wali bahkan menghormati pemeluk agama lain. Terbukti dengan kesedian mereka yang bermukim di kawasan Utara Jawa tengah, untuk tidak menyembelih dan atau mengonsumsi daging sapi atau kerbau dengan alasan agar tidak menyakiti hati masyarakat yang waktu itu masih banyak yang memeluk agama lain (Hindu).

Tradisi dan norma yang berkembang di masyarakat Indonesia, seperti mencintai keturunan Rasulullah, para wali dan orang saleh, serta mengharapkan berkah dari pada mereka, termasuk menghormati dan mencintai keturunan Rasulullah SAW, ziarah kubur, menempuh perjalan dari yang terdekat hingga ratusan kilometer, bahkan ribuan kilometer melewati sekat negara hanya untuk berziarah ke makam para ulama, sahabat, puncaknya ke makam rasulullah SAW. Termasuk yang ditunjukan KH Hasyim Asy`ari adalah tradisi men-talqin mayit, sedekah untuk mayit, meyakini adanya syafaat (pertolongan), bermanfaatnya doa, tawasul, dan lainnya.

Kepribadian Islam Nusantara erat sekali dengan ke-Azharan, pertama: menerima pluralitas dalam pemahaman yang berbeda, baik dalam satu topik maupun dalam dalam topik yang bermacam-macam, menghadapi dengan pendapat dan hujjah (argumentasi) dengan hujjah. Kedua: bersikap moderat dalam menyikapi berbagai pendapat yang berbeda dan berusaha untuk mempertemukan semuanya. Dari komponen tersebut sangat jelas sekali jauh dari sikap takfir, karna takfir sumber dari perpecahan, perselisihan antar umat Islam.

Praktik Islam Nusantara ini tercermin dalam ke-Azharan, berwajah tasamuh (toleran), tawassuth  (moderat) di garis tengah, tidak berada dalam kutub ekstrem dalam pemahaman dan pengamalan, menciptakan perdamaian dengan pertimbangan, hidup rukun dengan Agama lain dan berakulturasi dengan budaya lokal., tawazun (seimbang), dan i`tidal (berpihak pada kebenaran dan keadilan). terlebih, Islam di indonesia berdampingan dengan demokrasi, yang merupakan pilar dari Islam Nusantara adalah Nahdlatul Ulama atau disingkat NU.

Perilaku sosial budaya Muslim Indonesia yang Moderat (tawassuth),  menjaga keseimbangan (tawazun), dan toleran (tasamuh). Ketiga sikap ini pijakan masyarakat pesantren untuk mencari solusi problem sosial akibat liberalisme, kapitalisme, sosialisme, termasuk radikalisme agama-agam (Said Aqil Siroj, 1999)

Di samping itu juga dari sisi manhaj, Hadratussyeikh KH Hasyim Asyari pernah menggambarkan keislaman negeri Jawa pada awal abad ke-20 dalam kitabnya, Risalatu Ahlissunnah wal Jamaah, sebagai masyarakat yang memiliki pandangan dan mazhab serta referensi dan kecenderungan yang sama. Yaitu, pengikut mazhab Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i, alur pikir Imam Abu Hasan al-‘Asy’ari, dan corak tasawuf konsep Imam al-Ghazali dan Imam Abi al-Hasan al-Syadzili (Hasyim Asyari, 1912).

Bagi mahasiswa al-Azhar sudah pasti mengenal manhaj al-Azhar, yaitu manhaj berbasis bangunan keilmuan yang kokoh, dijalankan dengan sikap moderat, dan dihiasi dengan akhlak yang mulia, mengajarkan kepada para pelajarnya, baik materi akidah, fikih, maupun tasawuf. Di ranah akidah, al-Azhar mengajarkan sunni Asy`ari dan Maturidi, di ranah fikih mengajarkan empat mazhab sunni; Hanafi, Maliki, Syafi`i, dan Hambali, dan di ranah akhlak mengajarkan tasawuf sunni. Dari aspek tasawuf lah, Islam di Nusantara berhubungan, menjadi corak Islam memiliki nilai-nilai kebathinan dan keyakinan masyarakat lokal Nusantar tercermin dari akhlak umat Islam di Nusantara.

Beberapa komponen Islam Nusantara dalam ke-Azharan. Komponen Pertama, menyambung mata rantai keilmuan hingga kepada Rasulullah SAW. Misalnya, Kiai Ahmad Khatib Sambas, Kiai Nawawi al-Bantani, dan Kiai Mahfudz tremas. Ketiga kiai ini lahir di Indonesia, tapi menetap di mekkah sampai batas hidup yang telah ditentukan-Nya. Kiai Nawawi al-Bantani berguru kepada Syekh as-Syarwani, murid Syekh al-Baijuri yang berguru kepada Syekh as-Syarqawi, dan seterusnya hingga Rasulullah SAW. Dan setiap generasi mengambil dari generasi sebelumnya dengan sanad yang bersambung dan pemahaman yang berkelanjutan.

Komponen Kedua, mendalami Ilmu-ilmu alat. Yang membuatnya mampu dan memhami al-Qur`an dan as-Sunnah dengan landasan ilmu bisa lebih mendalam, serta dengan rasio dan hujjah yang benar. Di pesantren lah santri-santri mempelajari ilmu-ilmu alat; berupa nahwu, sharaf, etimologi (isytiqaq), balaghah, ushul fiqih, ilmu hadits, dan ilmu-ilmu lainnya. Dengan demikian sudah tidak aneh sebutan “kota santri”, khusunya di beberapa wilayah Indonesia. Dengan beberapa methode yang di terapkan di setiap pesantren. Contoh: sorogan, dalam ranah nahwu, satu pesantren menggunakan methode setoran hafalan `amil, jurumiyah, al-fiyah sampai ke matan bina. Dalam satu kitab terdapat 3 proses: setoran lafadz, setoran i`rab, setoran murad. Dan masih banyak methode yang di pakai di setiap pesantren.

Komponen ketiga, Mengerti dan Menguasi Maqashid Syariah. Seakan komponen kedua terbentuk atas dasar komponen pertama, setelah mushahabah dengan para ulama dalam jangka waktu cukup lama serta menguasi ilmu-ilmu alat terbukannya lah kemampuan mengerti maqashid syariah (tujuan-tujuan syariah), maka begitu luas pemahaman tentang agama Allah, pandangannya terhadap cabang-cabang fikih dan masalah-masalah tercerahkan, tidak kaku dan keras dalam beragama, sangat lembut dalam berdakwah dan berakhlak. Makanya tidak heran santri salafi tumbuh dan berkembang cukup lama di area pondok pesantren bisa sampai bertahun-tahun, setelah khatam di satu pondokan, maka mondok di pesantren yang lain, semua itu atas dasar guru sebelumnya.

Komponen Keempat, Menerapakan Kandungan al-Quran pada tempatnya. Ciri orang yang memiliki manhaj Azhari adalah memahami al-Qur`an dengan baik, dan menerapkan al-Qur`an pada realitas yang ada atau relitas historis  tanpa ambiguitas (bermakna ganda sehingga menimbulkan ketidakjelasan).

Komponen Kelima, Mementingkan Urusan Umat Muhammad. Ini buah dari semua komponen, bahwa penuntut ilmu akan memahami dari pada umat Muhammad SAW adalah umat ilmu, hidayah, rahmat, warisan para Nabi, dan menjadi “wadah” islam, menunjukan kepada manusia untuk mengetahui Allah melalui perantara ilmu, nilai, seni, etika, dan pengetahuan mereka dalam berbagai bidang ilmu; empiris, humaniora, logika, etika dan ilmu-ilmu lainnya. jika menyelami dan memahami komponen yang kelima, tidak lah ada perkataan fasik, syirik, dan bid`ah. Maka dari itu, Islam di Nusantara ini lah poros dan berkembangnya manhaj Azhari walaupun tidak ter sadari dengan iringnya waktu, hemat penulis.

 Komponen keenam, membawa Misi Menebar Hidayah untuk seluruh Manusia,berisi tentang memberikan dan menyampaiakan hidayah dengan lentur, dan rasa kasih sayang sesama umat Nabi Muhammad SAW. Islam di Nusantara sendiri sebagai faktor pergerakan menuju pusat ke dalam ranah titik temu, bukan ke dalam perbedaan. Tidak salah ada ungkapan dan gagasan “Islam Nusantara sebagai pilar bangsa dalam menyongsong indonesia bahkan dunia yang damai, aman, dan sentosa”.

Maka dari itu, jika berbicara tentang Islam Wasatiyah Nusantara, representasinya paling “sempurma” adalah Islam Indonesia. Inilah Islam inklusif, akomodatif, toleran, dan dapat hidup berdampingan secara damai baik secara internal sesama kaum Muslimin maupun umat lain.  (Azyumardi Azra, 2015)

 

 

Kesimpulan

Kepribadian dan praktik Islam Nusantara erat sekali dengan manhaj al-Azhar, konsep-konsep yang terkandung tampak memancar di Nusantara, moderasi islam dalam konsep al-Wasathiyah Nusantara memiliki makna yang berkisar pada adil, baik, tengah, dan seimbang. Seseorang yang adil akan berada di tengah menjaga keseimbangan dalam menghadapi dua keadaan, dalam ungkapan “sebaik-baiknya urusan adalah pertengahan”. Islam Nusantara, Islam di Nusantara, atau Islam dan Nusantara adalah potret keberagamaan yang beragam budaya di masyarakat Nusantara yang dihubungkan dengan pola pengembangan dakwah dan praktik Isalm di Nusantara “menghargai tradisi” masyarakat selama tidak keluar dari koridor Islam. Islam Nusantara bukanlah jaringan, yang menganggap jaringan itu adalah kelompok yang tidak setuju dengan praktik Islam di Nusantara. Padahal semua itu, pola dakwah Ulama-ulama Nusantara.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun