Mohon tunggu...
jaenujis
jaenujis Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Generasi Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Islam Nusantara Dalam Perspektif Ke-Azharan

5 September 2015   20:15 Diperbarui: 6 September 2015   03:28 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Komponen Kedua, mendalami Ilmu-ilmu alat. Yang membuatnya mampu dan memhami al-Qur`an dan as-Sunnah dengan landasan ilmu bisa lebih mendalam, serta dengan rasio dan hujjah yang benar. Di pesantren lah santri-santri mempelajari ilmu-ilmu alat; berupa nahwu, sharaf, etimologi (isytiqaq), balaghah, ushul fiqih, ilmu hadits, dan ilmu-ilmu lainnya. Dengan demikian sudah tidak aneh sebutan “kota santri”, khusunya di beberapa wilayah Indonesia. Dengan beberapa methode yang di terapkan di setiap pesantren. Contoh: sorogan, dalam ranah nahwu, satu pesantren menggunakan methode setoran hafalan `amil, jurumiyah, al-fiyah sampai ke matan bina. Dalam satu kitab terdapat 3 proses: setoran lafadz, setoran i`rab, setoran murad. Dan masih banyak methode yang di pakai di setiap pesantren.

Komponen ketiga, Mengerti dan Menguasi Maqashid Syariah. Seakan komponen kedua terbentuk atas dasar komponen pertama, setelah mushahabah dengan para ulama dalam jangka waktu cukup lama serta menguasi ilmu-ilmu alat terbukannya lah kemampuan mengerti maqashid syariah (tujuan-tujuan syariah), maka begitu luas pemahaman tentang agama Allah, pandangannya terhadap cabang-cabang fikih dan masalah-masalah tercerahkan, tidak kaku dan keras dalam beragama, sangat lembut dalam berdakwah dan berakhlak. Makanya tidak heran santri salafi tumbuh dan berkembang cukup lama di area pondok pesantren bisa sampai bertahun-tahun, setelah khatam di satu pondokan, maka mondok di pesantren yang lain, semua itu atas dasar guru sebelumnya.

Komponen Keempat, Menerapakan Kandungan al-Quran pada tempatnya. Ciri orang yang memiliki manhaj Azhari adalah memahami al-Qur`an dengan baik, dan menerapkan al-Qur`an pada realitas yang ada atau relitas historis  tanpa ambiguitas (bermakna ganda sehingga menimbulkan ketidakjelasan).

Komponen Kelima, Mementingkan Urusan Umat Muhammad. Ini buah dari semua komponen, bahwa penuntut ilmu akan memahami dari pada umat Muhammad SAW adalah umat ilmu, hidayah, rahmat, warisan para Nabi, dan menjadi “wadah” islam, menunjukan kepada manusia untuk mengetahui Allah melalui perantara ilmu, nilai, seni, etika, dan pengetahuan mereka dalam berbagai bidang ilmu; empiris, humaniora, logika, etika dan ilmu-ilmu lainnya. jika menyelami dan memahami komponen yang kelima, tidak lah ada perkataan fasik, syirik, dan bid`ah. Maka dari itu, Islam di Nusantara ini lah poros dan berkembangnya manhaj Azhari walaupun tidak ter sadari dengan iringnya waktu, hemat penulis.

 Komponen keenam, membawa Misi Menebar Hidayah untuk seluruh Manusia,berisi tentang memberikan dan menyampaiakan hidayah dengan lentur, dan rasa kasih sayang sesama umat Nabi Muhammad SAW. Islam di Nusantara sendiri sebagai faktor pergerakan menuju pusat ke dalam ranah titik temu, bukan ke dalam perbedaan. Tidak salah ada ungkapan dan gagasan “Islam Nusantara sebagai pilar bangsa dalam menyongsong indonesia bahkan dunia yang damai, aman, dan sentosa”.

Maka dari itu, jika berbicara tentang Islam Wasatiyah Nusantara, representasinya paling “sempurma” adalah Islam Indonesia. Inilah Islam inklusif, akomodatif, toleran, dan dapat hidup berdampingan secara damai baik secara internal sesama kaum Muslimin maupun umat lain.  (Azyumardi Azra, 2015)

 

 

Kesimpulan

Kepribadian dan praktik Islam Nusantara erat sekali dengan manhaj al-Azhar, konsep-konsep yang terkandung tampak memancar di Nusantara, moderasi islam dalam konsep al-Wasathiyah Nusantara memiliki makna yang berkisar pada adil, baik, tengah, dan seimbang. Seseorang yang adil akan berada di tengah menjaga keseimbangan dalam menghadapi dua keadaan, dalam ungkapan “sebaik-baiknya urusan adalah pertengahan”. Islam Nusantara, Islam di Nusantara, atau Islam dan Nusantara adalah potret keberagamaan yang beragam budaya di masyarakat Nusantara yang dihubungkan dengan pola pengembangan dakwah dan praktik Isalm di Nusantara “menghargai tradisi” masyarakat selama tidak keluar dari koridor Islam. Islam Nusantara bukanlah jaringan, yang menganggap jaringan itu adalah kelompok yang tidak setuju dengan praktik Islam di Nusantara. Padahal semua itu, pola dakwah Ulama-ulama Nusantara.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun