Tabungan Perumahan Rakyat atau biasa disingkat TAPERA merupakan penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu, yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. (Pasal 1 PP No. 25/2020)
Dasar hukum mengenai Tapera diatur Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera.
Nah, baru-baru ini masalah Tapera mencuat menjadi sorotan publik setelah pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang berkaitan tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Kebijakan pemerintah ini dianggap memberatkan kaum pekerja, karena mereka diwajibkan menjadi peserta.
Pekerja sebagaimana dimaksud di atas meliputi calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN), prajurit TNI, prajurit siswa TNI, anggota Polri, pejabat negara, pekerja/buruh BUMN, pekerja/buruh BUMD, pekerja/buruh BUMS, dan pekerja lainnya yang menerima gaji atau upah. (Pasal 7)
Iuran kepesertaannya dinilai cukup tinggi oleh sebagian pekerja, karena dihitung sebagai persentase dari porsi gaji atau upah. Bagi pekerja dengan pendapatan di atas UMR, setiap bulan gaji mereka akan dipotong sebesar 2,5%. Bersamaan dengan kondisi ekonomi yang kian lemah dan daya beli masyarakat yang menurun, potongan ini tentu saja sangat memberatkan. Tidak heran jika ada penolakan dari berbagai pemilik usaha hingga asosiasi driver ojek online.
Menurut pemerintah, dana Tapera akan dipakai untuk membiayai pengadaan dan penyediaan rumah bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah. Dalam aturan yang terbaru, hanya peserta Tapera dengan porsi gaji 8 juta hingga 10 juta yang bisa mendapatkan manfaat, seperti bantuan kredit, sedangkan pekerja yang memiliki penghasilan di atas 10 juta hanya berstatus "Penabung Mulia", yang dijanjikan imbal hasil tertentu ketika pensiun.
Kemudian, bagaimana komentar mengenai kebijakan ini menurut ahli ekonomi?
Menurut Direktur Ekonomi dari Center of Economic and Low Studies (CELIOS), Nailul Huda mengatakan, kebijakan Tapera ini adalah program lama yang sudah berjalan sejak 2018. Peraturan Pemerintah (PP) yang diumumkan beberapa waktu lalu adalah bentuk pembaharuan kebijakan yang akan diterapkan nantinya secara utuh pada seluruh pekerja pada tahun 2027. Huda menganggap program ini akan membebani masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil. Anggapan bahwasannya program Tapera dapat menyelesaikan masalah backlog perubahan juga patut untuk dipertanyakan, pasalnya sejak program ini berjalan dari 6 tahun lalu, permasalahan backlog ini belum juga terselesaikan. Gaya anak muda yang enggan tinggal di hunian permanen dinilai sebagai penyebabnya.
Huda juga menegaskan bahwa Tapera bukanlah sebuah program yang seharusnya ditentang. Hanya saja, cara dan metode pengelolaan ini yang harus diperbaiki dan ditinjau ulang supaya masalah perumahan rakyat ini cepat terpecahkan. Tata kelola yang baik dan tepat menjadi kunci, termasuk melakukan sosialisasi secara spesifik dan menjalankan program dengan transparan.
Sumber:
https://majalah.tempo.co/read/opini/171669/tipu-daya-tapera-jokowi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H