Mohon tunggu...
Rail fauzan
Rail fauzan Mohon Tunggu... Penulis - Pegawai jalanan

Belajar dari semua dimensi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Gerak Pikir dan Pikiran

9 Oktober 2024   23:21 Diperbarui: 10 Oktober 2024   03:38 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sangatta Kutai Timur/dokpri

Hari ini Begitu ramai kaum muda yang mengalami penderitaan yang tak menemukan sebuah ujung. Hampir semua bentuk penderitaan itu datang dari pikiran, baik dalam bentuk kecemasan akan masa depan, maupun penyesalan atas masa lalu. 

Jauh dari kecemasan dan penyesalan yang kerap mencengkram pikirannya menjadi jawaban yang sulutip untuk keluar dari penderitaan pikiran. Sebaliknya, hal kecil akan menjadi sulit dan rumit, ketika pikiran orang dipenuhi dengan kecemasan dan penyesalan.

Akibatnya, mereka pun cenderung menjadi penghambat bagi orang lain, dan bahkan bisa membuat orang lain menderita. Beban pikiran yang berlebihan membuat orang tak mampu menyadari, betapa indah dan sederhana hidup manusia itu sebenarnya.

Pikiran Manusia

Hal yang solutif untuk mencegah hal ini adalah dengan memahami hakekat dan gerak pikiran itu sendiri. Setiap bentuk konsep ataupun eksekusi adalah hasil dari pikiran manusia. 

Dengan konsep pikiran itulah manusia lalu menanggapi berbagai keadaan di luar dirinya. Contohnya emosi dan perasaan juga merupakan hasil dari konsep yang berakar pada pikiran manusia.

Lantas apa sih ciri dari pikiran manusia? Ada tiga ciri mendasar;

1. Sementara,

Pikiran, ia datang, ia pergi, dan ia berubah. Cuaca berubah, maka pikiran juga berubah. Ketika lapar, pikiran melemah. Dan sebaliknya, ketika perut kenyang, pikiran bekerja lebih maksimal.

2. Pikiran itu bukanlah kenyataan/Realitas. Pikiran adalah respon terhadap kenyataan

3. Pikiran itu Rapuh

     Apa yang kita pikirkan Belum adalah benar apalagi kebenaran yang mutlak. Bahkan keyakinan atas pikiran terkadang mengarahkan orang pada kesalahan dan penderitaan. Baik dalam lingkup diri sendiri maupun secara universal. Inilah yang menandakan kerapuhan pikiran.


kini ekspresi dan represi. 

Ekspresi berarti mengeluarkan semua bentuk pikiran tersebut dalam bentuk tindakan ataupun kata-kata. Biasanya, orang lain menjadi obyek dari tindakan ini. Beberapa diantaranya merasa terhina, sehingga membalas, dan membentuk semacam lingkaran kekerasan yang lebih besar.

Represi berarti menekan dan menelan semua emosi dan pikiran yang muncul. Pada pikiran dan emosi yang ekstrem, ini menciptakan rasa sakit yang luar biasa. Dalam jangka panjang, ini bisa menciptakan penyakit fisik yang berbahaya, seperti misalnya kanker atau sakit jantung. Represi emosi dan pikiran jelas bukan merupakan jalan yang tepat.

Ekspresi menciptakan masalah sosial. Represi menciptakan masalah personal. Banyak orang terjebak di antara keduanya. Mereka tidak dapat keluar dari pikiran dan emosi yang mereka anggap nyata.

Namun, ada jalan keluar dari kebuntuan ini, yakni observasi. Observasi berarti tindak mengamati apa yang terjadi di dalam pikiran kita secara seksama. Kita mengamati muncul dan bergantinya pikiran dari satu obyek ke obyek lainnya. Kita bisa melihat, bagaimana emosi, perasaan dan pikiran terbentuk, dan kemudian berlalu.

Dengan cara ini, kita menciptakan jarak dengan segala hal yang muncul di kepala kita. Kita tidak lagi percaya, bahwa itu semua adalah kebenaran. Hasilnya, semua emosi, pikiran dan perasaan tidak akan mempengaruhi kita. Kita mengalami kebebasan yang sesungguhnya.

Apa yang Sedang Mengamati?

Ketika kita mengamati semua bentuk emosi, perasaan dan pikiran yang muncul, kita lalu bertanya, apa ini yang sedang mengamati? Siapa ini yang sedang mengamati? Yang jelas, kita bukanlah pikiran kita. Kita juga bukanlah emosi dan perasaan kita, karena semua itu datang dan pergi, serta amat rapuh.

Jika kita bukan pikiran, perasaan maupun emosi kita, lalu apa atau siapakah kita? Siapa ini yang sedang mengamati? Kita bisa menjawab dengan jawaban-jawaban lama, seperti jiwa atau roh. Namun, jiwa dan roh adalah konsep-konsep yang merupakan hasil dari pikiran kita, maka ia juga tidak nyata, sementara dan amat rapuh.

Pertanyaan ini membuka ruang baru di dalam hidup kita. Jika dilakukan secara berkala, yakni bertanya "Siapa ini yang sedang mengamati?", kita akan menyadari kehadiran sang pengamat ini. Ia mengamati setiap detik pikiran, emosi dan perasaan yang muncul dan pergi di dalam diri kita. 

Kesadaran ini membuat kita lebih kuat menghadapi segala hal yang mungkin terjadi di dalam hidup. Dalam jangka panjang, tidak ada emosi, pikiran ataupun perasaan yang bisa mempengaruhi diri kita lagi.

Salam literasi sahabat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun