Saat aku mulai menulis narasi ini, suasana siang itu begitu damai. Angin berdesir menemaniku menyusun ide, terik matahari pun tidak seperti biasanya, kulihat awan juga menawarkan panorama yang estetis. Sebuah buku yang awal mulanya akan aku baca hanya terpajang dihadapanku, aku lebih memilih untuk mengamati podcast di channel youtube yang tengah mendiskusikan fenomena politik di tanah air, saat itu aku tengah mengamati statement yang disampaikan oleh salah satu anak dari Presiden Republik Indonesia tentang alasannya bergabung dengan "Partai Anak Muda". Aku mengamatinya melalui gawai.
Di saat aku mengamati podcast tersebut, aku membagi layar gawaiku menjadi dua bagian, di layar atas aku mengamati podcast tersebut, dan di layar bawah aku membuka instagram. Sewaktu  instagram baru saja kubuka, aku langsung tercengang ketika berita yang pertama muncul diberandaku adalah "Siswa bacok guru di Demak". Seketika itu juga aku menghentikan podcast yang sementara berjalan, dan aku menelusuri lebih lanjut informasi yang baru saja kuperoleh. Aku membuka portal web dan akhirnya menemukan bahwa informasi yang baru saja aku dapatkan itu sudah menjadi komsumsi publik.Â
Karena rasa penasaranku sangat mengebu-gebu terkait apa yang mendasari/motif siswa itu hingga tega menikam sang guru? Aku mengamati narasi-narasi yang disampaikan oleh beberapa media dengan penuh kehati-hatian. Dari narasi-narasi yang disampaikan oleh beberapa media, aku kemudian menarik kesimpulan bahwa motif siswa itu menikam gurunya karena nilai dari siswa itu kurang memuaskan. Penyebabnya? Ia jarang masuk ke sekolah dan juga jarang mengerjakan tugas yang telah diberikan oleh gurunya.
Fenomena sosial seperti ini sebenarnya bukan pertama kali terjadi, kalau kita mengingat kembali beberapa tahun yang lalu juga sangat sering terjadi penganiyaan siswa terhadap guru hanya beda kasus dan beda motif, tetapi benang merahnya tetap sama yaitu penganiayaan.
Aku kemudian mulai berpikir, rasa kecewa mungkin boleh ada pada siswa itu, namun jika sampai melakukan penikaman, itu sungguh ironis. Di tengah penyusunan narasi ini, aku teringat beberapa tahun lalu saat mengerjakan tugas akhir skripsi, pendidikku saat itu mengatakan "Janganmi lagi teliti pendidikan karakter, sudah banyakmi itu".Â
Aku menganggap apa yang dikatakan pendidikku itu sudah sangat tepat, sudah banyak yang melakukan penelitian terkait pendidikan karakter, namun bukan berarti masalah pendidikan karakter yang saat ini kita hadapi sudah selesai. Menurutku, referensi harus tetap/terus diperbanyak, misalnya melalui buku bacaan yang kemudian disosialisasikan kepada peserta didik/siswa untuk dibaca dan diupayakan untuk diterapkan pada kehidupan sehari-hari mereka."
Pertanyaan paling dasar yang mungkin muncul dibenak kita adalah sebenarnya apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter? Thomas Lickona (dalam Latif, 2018:278) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan secara sistematis untuk membantu mereka yang membutuhkan agar dapat paham, reponsif dan bertindak dengan benar.Â
Sederhananya, melalui proses pendidikan karakter yang ditanamkan guru kepada siswa, diharapkan siswa itu dapat memahami mana hal yang benar untuk dilakukan dan mana yang seharusnya ditinggalkan. Secara konsepsi itu sudah ideal, namun implementasinya masih jauh dari kata ideal. Itu dibuktikan dengan kasus demoralisasi siswa konsisten terjadi di penjuru tanah air.
Aku sendiri menganggap demoralisasi yang terjadi saat ini itu disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya yang paling berpengaruh adalah faktor lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Dari data yang kutemukan, mayoritas/kebanyakan anak mengalami demoralisasi itu biasanya dimulai dari lingkungan keluarga yang kurang harmonis. Ayah/Ibu misalnya yang super sangat sibuk bekerja seharian di luar rumah hingga anaknya tidak betah untuk tinggal di rumah dan akhirnya lebih memilih untuk keluar rumah menghibur diri/mencari kenyamanan. Sangat bermanfaat keluar rumah jika itu berada di lingkungan positif. Belum lagi jika anak itu keluar rumah dengan tujuan untuk menghibur dirinya yang kesepian malah berada dalam lingkungan/lingkaran yang tidak jelas arahnya.
Pengaruh tersebut sebenarnya bisa diatasi dengan mengoptimalisasi peran orang tua terhadap anak di rumah. Peran orang tua dalam proses perkembangan anak itu sangat besar, jika kita pernah mendengar Ibu adalah madrasah bagi anak-anaknya, maka Ayah adalah kepala sekolahnya. Perilaku orang tua, baik buruknya itu secara tidak langsung akan di copy-paste oleh anaknya. Sehingga sangat penting pendidikan moral itu diawali dari lingkungan keluarga.
Selain hal tersebut, pendidikan karakter juga dapat diajarkan kepada anak melalui proses membaca buku atau mendengar kisah tokoh yang mereka kagumi. Dengan membaca dan mendengar kisah tokoh yang mereka kagumi itu, secara tidak langsung akan memengaruhi pola pikir dan perilaku anak tersebut. Memang perubahan itu tidak langsung, karena tidak ada sesuatu yang baik itu diperoleh secara instan.
Aku ingin mengakhiri narasi ini dengan mengutip adagium Bruce lee "Pengetahuan akan memberimu kekuatan, tetapi karakter akan memberimu kehormatan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H