Merdeka belajar - kampus merdeka menjadi terma yang cukup populer belakangan ini, terkhusus bagi para pemerhati dan pemikir pendidikan. Tidak jarang juga, masyarakat awam mengangkat tema tersebut sebagai objek kajian mereka di sela-sela diskusi. Dari segi istilah, merdeka belajar menjadi kabar yang cukup menggembirakan, namun punya kelainan yang mendasar.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pekikan kata "Merdeka" dapat mengandung beberapa makna, diantaranya : Bebas (dari penghambaan, penjajahan dan sebagainya); tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat atau tidak bergantung kepada orang.
Jika tidak diberi penjelasan lebih komprehensif mengenai kata "Merdeka", akan muncul interpretasi yang berbeda dari tiap masyarakat. Boleh jadi kata "Merdeka", dimaknai bebas tanpa syarat, artinya kita boleh melakukan apa pun sesuai dengan yang kita inginkan.
Berbeda misalnya jika kita menggunakan kata "Mandiri", yang notabene mempunyai maksud yang sama dengan kata merdeka. Bedanya, kata "Mandiri", terkesan lebih halus dan juga dapat ditafsirkan sebagai pola perilaku yang bebas namun tetap terbimbing.
Saat pertama kali disosialisasikan oleh Mendikbud Nadiem Makarim, pada bulan Januari, 2020. Merdeka belajar -- kampus merdeka menuai sorotan dari berbagai kalangan. Dalam suatu acara Talk Show yang membahas persoalan merdeka belajar, Rocky Gerung  mengatakan, secara konseptual, merdeka belajar sudah kacau.Â
Merdeka belajar seharusnya mampu memberi kebebasan bagi tiap peserta didik untuk mengembangkan potensi mereka, akan tetapi pikiran mereka terus disuapi oleh negara.
Tidak luput juga Bagja Hidayat dalam opini yang dipublikasikan oleh Tempo yang berjudul "Salah kaprah kampus merdeka ala Nadiem Makarim". Ia mengatakan bahwa kabar menggembirakan seharusnya datang dari merdeka belajar, yakni para mahasiswa tidak lagi mati suri, artinya mereka akan lebih merespon wacana publik yang ada di sekitar mereka.Â
Akan tetapi merdeka belajar yang diaktualisasikan oleh Nadiem Makarim hanya berdasar pada hal-hal mikro, misalnya hanya pada akreditasi kampus, program magang, pertukaran pelajar dan menghapuskan ujian nasional.
Dalam pidato Nadiem Makarim yang dipublikasikan oleh Kemendikbud RI pada tanggal 26 -- Januari -- 2020. Nadiem Makariem mengatakan bahwa "Inovasi hanya bisa dilakukan jika ruang gerak tidak dibatasi". Akan tetapi, dalam perkembangannya, konsep merdeka belajar ini secara tidak langsung telah membatasi pergerakan kita.Â
Kita diharapkan mampu beradaptasi pada era industri, artinya kita hanya dipersiapkan sebagai pekerja di berbagai jenis bidang industri yang telah disediakan. Bagaimana misalnya jika kita di arahkan untuk menciptakan inovasi baru ?
Idealnya, jika kampus ingin mengembalikan eksistensinya, maka hal yang paling dasar untuk dilakukan ialah menjamin keberlangsungan kebebasan akademik. Ironinya, kampus merdeka hanya menawarkan pembukaan program studi baru, sistem akreditasi Perguruan Tinggi, Perguruan Tinggi berbadan hukum dan hak belajar tiga semester di luar program studi.
Kita mulai dari hak belajar tiga semester di luar program studi. Kebijakan ini mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, mengingat dengan adanya hal ini, mahasiswa akan mampu mengembangkan minat dan bakat mereka terhadap mata kuliah yang diinginkannya di luar kampus.Â
Akan tetapi bagaimana jika sistem belajar di luar kampus tersebut tidak dipergunakan sebaik-baiknya. Juga yang harus menjadi pertimbangan ialah, mana mungkin mahasiswa mau mengambil mata kuliah di kampus lain jika akreditasi kampus tersebut terbilang rendah dibandingkan akreditasi kampus tempat mereka belajar? Pada akhirnya negara Kembali mengintervensi hal demikian.Â
Dalam hal ini kampus yang mempunyai kapasitas dalam ilmu teknologi tentu akan menjadi sorotan utama dalam pemilihan kampus yang akan dilakukan oleh mahasiswa, mengingat kampus yang mempunyai kapasitas dalam bidang teknologi lebih mempunyai peluang kerja yang lebih besar.
Kedua, pembukaan program studi baru. Dalam proses membuka program studi baru, kita harus mempertimbangkan secara teliti, apakah kualitas pendidikan yang akan dihasilkan akan berbobot atau tidak menghasilkan sama sekali.Â
Sama halnya dengan pernyataan yang diberikan oleh Achmad Nurmandi yang merupakan Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bidang kerjasama dan internasional dalam artikel yang ditulis oleh Fathurrohman yang berjudul "Kebijakan merdeka belajar bikin rancu", ia mengatakan bahwa sebelum membuka program studi baru, hal inti yang harus dipikirkan sebelumnya ialah apakah pembukaan program studi baru itu akan bermanfaat atau tidak.Â
Salah satu manfaat dari membuka program studi baru menurutnya ialah dapat menarik atensi mahasiswa baru untuk masuk ke instansi tersebut.
Ketiga, Perguruan Tinggi Berbadan Hukum. Salah satu kebijakan Mendikbud yang juga menjadi polemik ialah Perguruan Tinggi Berbadan Hukum.Â
Kebijakan ini mempunyai dampak positif dan negatif. Dampak positifnya ialah, kebijakan ini memberi kemudahan bagi setiap Perguruan Tinggi Negeri yang belum berstatus Badan Hukum untuk secepatnya menjadi Perguruan Tinggi Berbadan Hukum.Â
Akan tetapi, kebijakan ini secara tidak langsung juga akan melepaskan tanggung jawab pemerintah dalam kebijakan pengelolaan kampus, artinya kampus lebih otonom dalam hal ini. Jika hal tersebut telah terjadi, maka tidak menutup kemungkinan, kampus bisa saja menetapkan aturan yang dapat memberi beban berat bagi para mahasiswa, dan mahasiswa harus siap akan hal tersebut.
Keempat, sistem akreditasi Perguruan Tinggi. Sistem akreditasi Perguruan Tinggi merupakan upaya dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas dari Perguruan Tinggi dan Program Studi.Â
Kebijakan ini secara tidak langung memacu Perguruan Tinggi dan Program Studi untuk mencari terobosan baru agar memperoleh kualitas yang optimal dalam upaya mewujudkan pengembangan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan serta pengabdian kepada masyarakat.
Hal ini tentu sejalan dengan Undang-undang No 12 tahun 2012 mengenai Perguruan Tinggi yang mewajibkan perpanjangan akreditasi Perguruan Tinggi dan Program Studi untuk memerhatikan perkembangan dari kualitas lembaga yang bersangkutan.
Akan tetapi, realita yang tejadi di Perguruan Tinggi saat ini terasa lebih memberatkan, para pegawai dipaksa untuk bekerja lebih optimal dalam urusan administratif. Akibatnya, respon mereka terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh publik cenderung minim.
Jika pemerintah benar-benar serius untuk memberi kebebasan bagi para pelajar untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki, ada baiknya pemerintah memberi atensi yang lebih terhadap kebebasan akademik. Karena kebebasan akademik merupakan nafas pergerakan kemajuan pola pikir mahasiswa/pelajar.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Prof. Drs. M. Achmad Icksan, yang menyatakan bahwa kebebasan akademik harus dianggap hal fundamental dalam Perguruan Tinggi. Lebih lanjut, ia mengemukakan pada garis besarnya kebebasan akademik itu menyangkut dua wilayah atensi.Â
Pertama, kebebasan akademik yaitu kebebasan yang dipunyai oleh Perguruan Tinggi untuk melaksanakan fungsinya tanpa adanya intervensi dari pihak luar. Kedua, kebebasan mimbar akademik, yaitu kebebasan setiap individu dalam proses belajar, mengajar, melaksanakan penelitian serta bebas berekspresi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H