Istilah yang tidak asing yang menjadi jiwa pendidikan nasional "Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani". senantiasa dikumandangkan oleh Ki hajar Dewantara tersebut menjadi landasan dalam proses pembelajaran di satuan pendidikan. Lantas mengapa guru kini harus merubah mindset tentang pembelajaran.
Mencermati makna dari Ing Ngarso Sung Tulodo, di depan memberikan contoh/tauladan, Ing Madyo Mangun Karso, di tengah-tengah sebagai penyemangat, Tut Wuri Handayani, di belakang mendorong. Fakta yang terjadi, istilah tersebut seolah tak bermakna karena proses pembelajaran justru masih menempatkan siswa sebagai objek, yang hanya menerima dan melakukan, akhirnya dinyatakan dengan predikat naik kelas atau lulus. Hal ini akan menjadi sebuah tantangan ketika zaman sudah tidak menerima akan perlakuan terhadap proses yang demikian.
Plashback terhadap Asas Pendidikan Ki Hajar Dewantara, bahwa beliau membedakan antara Pendidikan dan Pengajaran untuk menjadi perenungan agar kita memahami arti dan tujuan pendidikan. Menurut KHD, pengajaran (onderwijs) adalah bagian dari Pendidikan. Pengajaran merupakan proses Pendidikan dalam memberi ilmu atau berfaedah untuk kecakapan hidup anak secara lahir dan batin. Sedangkan Pendidikan (opvoeding) memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Jadi menurut KHD (2009), "pendidikan dan pengajaran merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya dalam arti yang seluas luasnya" Â Pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat.
Upaya untuk menciptakan manusia Indonesia yang beradab maka pendidikan menjadi salah satu kunci utama untuk mencapainya. Pendidikan dapat menjadi ruang berlatih dan bertumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diteruskan atau diwariskan. Â Tujuan pendidikan menurut KHD yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itu, pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak.
Tantangan Abad 21, bahwa guru harus menempatkan tujuan pada empat sendi, yaitu keterampilan berpikir (critical thinking), kerjasama (colabortive), kreatif (creative), komunikasi (comunicative). Jika guru masih melakukan proses pembelajaran yang konvensional dan tidak merubah paradgma tentang pembelajaran tentu hal ini akan menjadi sebuah kesenjangan yang akan menghambat tujuan dan ekspektasi pendidikan di masa digitalisasi ini.
MERRDEKA BELAJAR adalah solusi yang diluncurkan oleh Kemdikbudristekdikti sebagai inovasi dunia pendidikan. Program pemerintah ini masih mengalami transformasi, dan sebahagian GTK belum mampu untuk menjabarkannya dalam proses pembelajaran. Pengertian tentang MERRDEKA BELAJAR diangggap sebagai sebuah kebebasan, sehingga proses pembelajaran masih konvensional. Terkait hal tersebut tidaklah berlebihan jika kita kembali mencermati bagaimana konsep MERRDEKA BELAJAR sesungguhnya.
Marilah kita lanjutkan dengan konsep MERRDEKA BELAJAR dan bagaimana implementasinya dalam proses pembelajaran dan keterkaitannya dengan STEM sebagai salah satu alternatif untuk mewujudkannya. Konektivitas antara MERRDEKA BELAJAR dan Kompetensi Abad 21 jika ditinjau dari sudut pandang proses pembelajaran sangat erat, karena Kompetensi Abad 21 akan tercapai dengan MERRDEKA BELAJAR.
Sebelum membahas konektivitasnya alangkah baiknya dicermati bagaimana Pendidikan Sekarang dan Bagaimana Arahan Pendidikan Masa depan. Komparasi dilakukan dengan kategori Ekosistem, Guru, Pedagogi, Kurikulum, dan Sistem Penilaian. Hal ini berdasar pada analisis GTK Dikdas Kemdikbud.
KATEGORI
PENDIDIKAN SEKARANG
PENDIDIKAN MASA DEPAN