Mohon tunggu...
Muhammad Isa
Muhammad Isa Mohon Tunggu... -

Food Science and Technology\r\nUniversitas Sebelas Maret, Solo

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Budaya konsumsi Beras dan Kekayaan Potensi Lokal

15 Maret 2015   19:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:37 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harga beras yang melambung tinggi berdampak pada kehidupan masyarakat. Sebagian warga yang tidak dapat membeli pun terpaksa mengonsumsi nasi aking, yakni nasi sisa yang dijemur hingga kering lalu dikukus kembali. Baca ( http://nasional.kompas.com/read/2015/02/27/15000071/Ironi.Nasi.Aking.di.Lumbung.Padi ). Padahal, pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 1945. Masyarakat pun berhak mendapatkan pangan yang layak.

Dalam hal menjamin kebutuhan pangan tersebut, pemerintah memiliki program raskin. Namun, dari berbagai media banyak yang menjelaskan bahwa raskin banyak menimbulkan banyak hal negatif, seperti kualitas beras yang dihasilkan, sasaran yang tidak tepat, Secara umum, pengaruh raskin menyebabkan perubahan budaya di masyarakat, selian itu kualitas raskin yang tidak bagus dan sasaran yang kurang tepat. karena hal tersebut, mensos berencana untuk mengganti raskin dengan e-money. Baca ( http://regional.kompas.com/read/2015/01/28/15161421/Tahun.2016.Pemerintah.Hapus.Program.Raskin )

Namun, disini saya bukan ingin mengkaji positif dan negative dari e money. Mungkin di tulisan selanjutnya, saya mencoba menyampaikan opini saya.

Kembali ke topik kenapa beras bisa naik, menurut para pengamat hal ini disebabkan keterlambatan panen, baca (http://finance.detik.com/read/2015/02/28/103310/2845571/4/harga-beras-naik-bukan-karena-mafia-ini-penyebabnya) Namun, yang menarik adalah menggunakan raskin untuk stabilisasi pasar baca (  http://nasional.kompas.com/read/2015/02/23/19572261/Harga.Beras.Naik.Wapres.

Perintahkan.Bulog.Salurkan.Raskin.300.000.Ton )

Jenis kualitas berasnya pun sudah beda, raskin untuk orang yang kurang mampu, bukan untuk masyarakat menengah. Selain itu, menurut beberapa artikel yang saya baca peran bulog pun berkurang, lembaga pangan yang seharusnya menjamin ketersediaan pangan dari pemerintah, kini lebih berorientasi ke profit.

Namun, kenapa harus konsumsi beras? Mungkin ini sudah menjadi budaya kita, dalam beberapa buku yang pernah saya baca juga mengatakan nenek moyang kita adalah petani padi. Namun, setiap daerah memiliki potensi pangan yang berbeda, jika kita lihat di timur mungkin akan ditemukan potensi serealia lainnya.

Beras merupakan komponen serealia dan sumber karbohidrat, jika dilihat dari potensi pangan yang tersebar di Nusantara kita, kita punya banyak potensi pangan jenis seralia lainnya, jagung salah satunya jagung. Baca (http://regional.kompas.com/read/2015/03/04/17280051/Berhemat.Warga.Pagergunung.Makan.Nasi.Jagung )

Indonesia “surga” akan pangan lokal, kualitas pangan ditentukan oleh kandungan gizi dan nutrisinya, bukan pandangan akan gengsi. Di Indonesia ada banyak bahan pangan yang kualitasnya bisa disetarakan dengan beras, seperti hotong, dan aneka umbi-umbian yang merupakan sumber karbohidrat. Ya, mungkin keanekaragaman yang menjadi kekayaan kita sudah mulai hilang, namun dari hasil pengamatan saya, masih banyak petani yang melestarikan potensi lokal tersbut, dan masih banyak juga institusi mengembangkan pangan lokal tersebut, hal ini yang perlu ditingkatkan, agar kelestarian terjaga. Diversifikasi pangan, merupakan yang menjadi tantangan bersama dalam mengembangkan produk pangan lokal, selain itu beberapa perguruan tinggi juga sudah mulai  mengembangkan beras analog, beras yang berasal dari bahan baku bukan beras.

Selain itu, menurut saya sudah saatnya masyarakat mengetahui dari mana makanan yang mereka dapatkan itu berasal, bagaimana prosesnya, sehingga masyarakat dapat kualitas hidup yang lebih baik. “Let’s your foods be medicine and your medicine be your foods” -Hippocrates. Hal ini yang menurut saya menjadi tantangan dari pemerintah, dan juga kita bersama, serta pendataan angka-angka yang bukan hanya beras, tapi potensi lokalnya juga perlu disajikan, pembenahan data-data pun menjadi hal yang harus dilakukan, karena ada banyak perbedaan pengumpulan data produksi pangan di Indonesia, padahal hal tersbut merupakan dasar menentukan kebijakan pangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun