Mohon tunggu...
Muhammad Irwan
Muhammad Irwan Mohon Tunggu... -

Mengikatlah Diri ke Musafir Ulama dan Ulama Musafir lalu teruslah mengikat Simpulnya dengan kuat, teruslah mengikuti sampai akhirnya kembali kepada Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Madzabku Arabica, Madzabmu Apa?

11 Maret 2018   16:29 Diperbarui: 11 Maret 2018   16:44 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Madzhabku Arabica, Madzabmu apa?

Malam itu terasa sangat dingin, gerimis masih saja tak mau pergi meski sudah lama membasahi daun dan pohon pisang depan rumah, sambil melihat keatas memastikan apa bintang bintang berkenan menampakkan dirinya?

Dengan ditemani secangkir kopi dan rokok dji sam soe  duduklah aku didepan teras rumah yang tidak begitu luas, kembali kutengok bintang tapi sepertinya masih enggan menyapa. Tak ketinggalan roti Maryam buatan pedagang kaki lima  komplek makam Sunan Ampel beranjak mendekat seakan ingin bersama denganku melihat cahaya bintang.

Kusapa roti Maryam yang baru saja mendekat, oleh oleh dari ziarah ke Sunan Ampel bersama istri dan anakku Haidar yang masih umur 6 tahun sebentar lagi mau masuk madrasah.

Bul...bul...kepulan asap rokok kretek fatsal 123 menambah teman ngobrol kami bertiga (rokok, kopi dan roti Maryam). Tak mau kalah dari roti Maryam, kopi harum khas kota Bandung  yang baru saja kubeli rupanya ingin disapa juga.....hhhhhmmm sruuuup...Alhamdulillah terasa nikmat sekali berteman dengan mereka.

***

Teringat salah satu temanku, postur badannya yang kurus dengan perut buncit, dia cerita kehidupan keluarganya sekarang terasa bahagia, wajah sumringah dengan kaos terlihat terasa sesak sebab dorongan perutnya yang buncit nampak sekali mengiringi setiap kata yang keluar.

Sambil seruput kopi dia membagikan pengalaman masa lalunya yang dianggap kurang beruntung, sebab dari kecil tidak pernah merasakan bahagia seperti yang dia rasakan sekarang. Katanya, dulu dia serba kekurangan beli baju saja setahun sekali itupun harus melewati jalan panjang, dengan kondisi keluarga yang pas pasan apa yang dia minta dari orang tuanya jarang sekali dipenuhi.

Harus kerja keras dan keluar keringat dulu untuk mendapatkan sepotong baju yang tak punya merk, gaji yang diterima sering hanya cukup untuk makan saja.

Dalam hatiku berbisik, kebahagiaan yang kamu rasakan sekarang inikah penyebab perutmu buncit?

Lalu kenapa sekarang badanmu kurus dengan perut membuncit? Bukankah kamu sekarang merasa bahagia?tanyaku agak penasaran.

Apalah arti tubuh ideal kalau tak bahagia? Piliha mana tubuh ideal tapi hidup pas - pas an apalagi kekurangan! jawabnya singkat sambil terkekeh - kekeh.

Tak apalah badan kurus perut buncit yang penting bahagia, ingin apa saja bisa keturutan.....

***

Tak terasa tanganku menyentuh cangkir kopi yang berada disebelah tangan kiri ku. Suara cangkir menghentikan ingatan cerita temanku si Kurus yang sedang hidup bahagia dengan perut buncitnya.

Kembali kusruput kopi khas Bandung yang harum baunya, terasa pahit agak sedikit manis, aliran yang paling aku suka Arabica, meski tak jarang juga disuguhi  Torabika, kopi harum ini jadi jujugan penikmat kopi yang singgah di Kota Bandung, rasanya memang khas ditambah baunya yang harum.

----------------------------------------

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 00.00 wib gerimis telah pergi tanpa pamit, Daun masih meneteskan air tanda gerimis baru saja pergi.

Kembali kutengok langit, berharap Bintang dengan kebesarannya menghiasi langit, cahaya mungil nan indah. Kami berempat (kopi, rokok, roti Maryam dan asap) kompak tidak beranjak dari teras rumah yang dihiasi patung "Gupala". Patung yang dipakai zaman kerajaan sebagai penjaga pintu utama pendopo.

Sejak patung ini menghiasi teras rumah, nuansa Hindu terasa kental sekali ditambah arsitektur bangunan rumah hasil perkawinan model zaman Majapahit lengkap dengan Surya Majapahit dan model minimalis.

Kelap kelip sudah mulai nampak terlihat diatap langit, bahagianya kami berempat sebab bintang malam ini bersedia nampak setelah lama sekali menunggu gerimis pergi.

Teringat temanku si Kurus perut buncit yang sedang bahagia dengan hidupnya sekarang. Kami berempat saling memandang, apakah rasa bahagianya kita ini sama dengan rasa bahagianya si Kurus perut buncit?

Antara bahagia sebab disapa cahaya bintang dengan bahagia karena hidup serba cukup meski tubuh kurus perut buncit. Ah...sudahlah bisikku ke tiga temanku....Tiap orang tidaklah sama dalam melihat dan merasakan kebahagiaan. Sama halnya dengan minum kopi, tiap lidah punya rasa dan selera, masing - masing punya fans (penggemar berat) atau madzhab/aliran.

Madzhab kopiku arabica, bagaimana dengan madzhab kopimu?

Salam satu cangkir meski beda madzhab tetaplah ngopi bersama....

Hanlei, 10/3/18 taman baca BT Sidoarjo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun