Tidak lengkap rasanya jika memasak tanpa garam. Sama halnya dengan DPR RI yang tidak lengkap rasanya jika tidak melakukan Revisi pada Undang-Undang Pemilu tiap periodenya. Revisi Undang-Undang Pemilu sangat mudah dilakukan oleh DPR RI. Seakan sangat spesial, Undang-Undang ini berbeda dengan Undang-Undang lain seperti RUU PKS yang harus memakan waktu bertahun-tahun untuk bisa dibahas
Fakta tersebut dibuktikan lagi oleh DPR RI Periode 2019-2024 yang baru dilantik satu tahun lalu. Mereka yang baru genap satu tahun dilantik sudah memikirkan langkah untuk merevisi Undang-Undang Pemilu. Alasannya karena adanya keinginan dari partai-partai menengah di DPR RI untuk menormalisasi Pilkada. Semula Pilkada sesuai Undang-Undang Pemilu No.7 tahun 2017 akan dilaksanakan serentak pada tahun 2024. Namun Partai-Partai menengah di DPR RI seperti Nasdem ingin mengubahnya karena khawatir banyak urusan publik yang terbengkalai akibat adanya kekosongan jabatan kepala daerah definitif di sebagian besar daerah serta teknis pemilu yang akan sangat berat jika diadakan serentak [1].
Â
Langkah beberapa partai politik ini justru tidak di dukung oleh partai pemenang pada dua kali pemilu sebelumnya yaitu PDIP. Awalnya saat revisi Undang-Undang Pemilu hanya membahas isu kenaikan ambang batas parlemen PDIP ikut menyetujui dengan kenaikan menjadi 5% [2]. Namun ketika pembahasan memasuki isu normalisasi Pilkada, PDIP dengan tegas menolak melanjutkan pembahasan [3]. Apa alasan rasional PDIP menolak revisi Undang-Undang Pemilu ini? Â
Â
ALASAN RASIONAL PENOLAKAN PDIP
Â
Secara rasional PDIP pasti menolak revisi UU Pemilu ini terutama pada masalah normalisasi Pilkada. Karena akan ada cost yang harus ditanggung yaitu dengan munculnya tokoh potensial baru setelah setelah pilkada 2022 dan 2023[4]. Terutama pada pilkada DKI Jakarta. DKI Jakarta merupakan barometer politik Nasional maka calon-calon yang bertarung akan menjadi sorotan di tingkat Nasional. Seperti kita ketahui sebelumnya pada Pilkada DKI Jakarta 2012 memenangkan Joko Widodo yang akhirnya berhasil menang juga dalam Pilpres 2014. Sedangkan pada Pilkada DKI Jakarta 2017 memenangkan nama Anies Baswedan yang akhirnya saat ini terus membuat namanya bertengger di papan atas survei calon Presiden Potensial 2024. PDIP memang tidak miskin kader pemimpin potensial di tingkat daerah, sebut saja nama Ganjar Pranowo dan Tri Rismaharini. Dua nama yang sangat popular di masyarakat ini selalu ada dalam survei bursa calon Presiden potensial 2024. Dengan ditarungkan salah satu dari mereka di Pilkada 2022 sebenarnya bisa semakin memuluskan kemenangannya pada Pilpres 2024.Â
Â
Namun Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sepertinya tidak menginginkan langkah tersebut. Mega sepertinya khawatir jika pilkada 2022 dilaksanakan maka Anies Baswedan akan mendapatkan panggung terus sampai 2024. Menang ataupun kalah tetep akan membuat Anies Baswedan memiliki popularitas yang besar pada Pilpres 2024 sebagai imbas dari Pilkada DKI Jakarta 2022 yang menjadi sorotan Nasional [5].
PDIP tidak menginginkan hal ini terjadi mengingat keduanya berada dalam dua kutub yang berbeda. Sedangkan PDIP sebagai partai terbesar saat ini ingin mengamankan kemenangan pada Pilpres 2024 agar dapat terus mempertahankan kekuasaannya. Hal ini wajar dilakukan karena kekuasaan itu membuat kecanduan, seorang yang sudah terlalu lama merasakan kekuasaan akan merasa haus, hidupnya tidak normal lagi mereka akan terus berusaha mencari kekuasaan itu[6] (Muchtarom, 2012).Â