Mahasiswa tentunya memiliki keinginannya mengembangkan minatnya. Terlebih ketika mahasiswa, seseorang yang telah memasuki dewasa awal cukup bebas memilih apa yang diinginkan. Hal ini juga tak lepas dari aktivitas bermedia massa.
Aktivitas bermedia massa di lingkungan kampus kini berbagai bentuk. Di lingkungan UIN Walisongo terdapat komunitas media massa yang dikelola mahasiswa, seperti Walisongo TV (WTV) dan MBS Fm. Selain itu, terdapat pula unit kegiatan mahasiswa (UKM) dalam bentuk lembaga pers mahasiswa (LPM), seperti LPM MISSI, LPM Justisia, Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat, dan sebagainya.
 Bentuk tersebut mewadahi mahasiswa untuk mempelajari, praktik, menganalisis, dan sebagainya terkait hal-hal yang ada dalam media massa. Tentu komunitas dengan LPM memiliki ciri yang membedakannya. Misal WTV lebih mewartakan secara video apa yang terjadi di kampus dan terkadang juga terlibat kerjasama dengan birokrasi untuk melakukan siaran langsung. Begitu pula MBS Fm yang memiliki fokus siaran audio. Sementara, LPM lebih berfokus pada produk jurnalistik cetak dan daring.
 Namun, saat ini sekat secara ruang lingkup siapa berfokus kepada media seperti apa sudah bias. Konvergensi media telah "memaksa" untuk hidup media massa yang sesungguhnya. Oleh karenanya, kini media massa televisi pun memiliki situs berita daring. Media massa cetak mulai beralih ke media daring dan juga menyampaikan berita melalui bentuk visual. Radio pun demikian, kini memiliki media tulis daring dan video.
 Ini pula yang terjadi dalam kehidupan bermedia massa di kampus. LPM dan komunitas radio pun memiliki produk jurnalistik video. Sehingga yang "diadu" ialah kecepatan dan kreativitas penyampaian kabar.
 Secara isi konten media-media yang dikelola mahasiswa tersebut tergantung bagaimana arahnya. Apakah sebagai hiburan? Apakah jembatan dari atas atau birokrasi ke masyarakat kampus? Apakah independen? Atau sebagainya.
 Inilah yang tampak pada media massa di kampus. Sekilas menyerupai media-media massa umumnya. Media massa yang dikelola mahasiswa pun memiliki segmennya tersendiri baik hiburan, mewartakan kabar, dan sebagainya.
 LPM telah memiliki histori dan ciri khasnya yang kemungkinan akan tetap dipertahankan. Para kru LPM tampaknya lebih dibentuk sebagai insan pers sebagaimana mestinya. Kru LPM dibekali pengetahuan jurnalistik termasuk kode etik. Walau pun LPM berada dititik kebingungan arah antara apakah main aman dengan mewartakan hal-hal baik di kampus atau menjadi watchdog atau anjing pengawas. Tampaknya LPM kini keduanya pun diliput dan terpublikasi.
 Ini juga mungkin juga terjadi di komunitas-komunitas media massa di kampus. Dilatih soal manajemen produksi dan dibekali terkait penyiaran. Walau pun media massa komunitas mahasiswa ini lebih "main aman" tidak menutup kemungkinan juga melakukan selayaknya pers sebagai watchdog.
Â
Posisi Persma
Dalam media mengenal kru media massa termasuk dalam komunitas maupun LPM. Bisa kita sepakati kru media massa ialah seorang pers atau jurnalis. Seorang pers mahasiswa (persma) terutama LPM acap kali mengalami intervensi, intimidasi, kekerasan, dan bahkan pembredelan.
 Hal tersebut bukanlah tanpa awal. LPM yang lebih memiliki sikap independen dan kritis dalam produknya terkadang dinilai mengancam beberapa pihak termasuk kampus. Acap kali pemberitaan terkait "keburukan" kampus berujung tidak baik. Bisa saja LPM itu dibekukan atau seorang persma diancam soal akademik.
 Tentu hal seperti itu sangat bertentangan dengan apa yang diajarkan dalam ruang kelas ilmu komunikasi dan jurnalistik. Dalam kelas mahasiswa diajarkan bagaimana media massa. Diajarkan soal media massa memiliki nilai independen dan sebagai watchdog, Kode Etik Jurnalistik (KEJ), hukum terkait media massa, dan sebagainya.
 Dengan begitu, LPM ialah ruang mempraktikkan teori dan mengembangkan pengetahuan soal jurnalistik. Namun, yang menjadi persoalan jika para dosen mengajarkan demikian kepada mahasiswanya di ruang kelas, lantas mengapa birokrasi kampus ketar-ketir ketika ada berita buruk dan sesuai fakta terkait kampus?
 Memang tidak semua orang paham soal hukum etika media massa. Namun, apa yang diwartakan persma tentu memiliki dasar. Jika memang LPM benar-benar menjalankan sesuai KEJ maka hak jawab pun tersedia bagi birokrasi kampus terkait persoalan yang "menyinggung". Kala ini pula praktisi ilmu komunikasi dan jurnalistik menjelaskan kepada birokrasi kampus terkait kebebasan pers dan hukum etika media massa.
 Berdasarkan artikel berjudul "Profesional, Abal-abal, dan Hoax" yang ditulis Yosep Adi Prasetyo yang dimuat dalam Jurnal Dewan Pers Edisi 14, Juni 2017, memposisikan LPM dan media komunitas berada di kuadran dua. Pada kuadran ini beriisi media komunitas, media keagamaan, LPM, media kehumasan, media yang sedang tahap rintisan atau media yang sedang proses verifikasi Dewan Pers.
 Media-media tersebut memiliki ciri tidak atau belum terverifikasi Dewan Pers tetapi isi berita memenuhi standar jurnalistik dan KEJ. Artinya beritanya ialah positif dan terpecaya.
Dalam posisi ini Dewan Pers berperan sebagai mediator antara pihak yang dirugikan dengan media massa. Pada kuadran dua lebih menyoroti soal kebebasan pers. Namun, bila pihak yang dirugikan tidak puas dengan hasil mediasi bisa menempuh prosedur lain di luar Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Tentu hal ini berbeda dengan media massa yang berada di kuadran satu, yaitu media massa yang memenuhi syarat Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan terverifikasi Dewan Pers serta isi pemberitaannya memenuhi standar jurnalistik dan KEJ. Bila media di kuadran ini bermasalah akan diproses sepenuhnya sesuai undang-undang.
 Akhir kata, bila memang kampus ialah ruang belajar, maka hal-hal jurnalistik yang dilakukan media massa kampus baik bentuk komunitas dan LPM perlulah dirawat nalarnya. Jalankanlah kebebasan pers dalam kampus selayaknya di luar kampus. Terlebih kampus dikenal sebagai miniatur negara. Sebab media massa yang dikelola mahasiswa dalam kampus bukanlah sekadar ruang mengasah skill dalam memproduksi karya.
Â
Semarang, 27 Maret 2023
Oleh: Muhammad Irfan Habibi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H