Mengapa Lembaga pendidikan agama pondok pesantren yang seharusnya menjadi tempat pendidikan akhlak sesorang kini sering menjadi tempat kasus kekerasan seksual? hal tidak bijak menyebut pesantren bukanlah tempat pendidikan moral serta akhlak bagi santri.
Narasi kesetaraan dan keadilan gender menanggapi kasus ini. Bahwa gagasan kesetaraan & keadilan gender di lembaga pesantren masih menjadi perdebatan karena dinilai mengandung nilai-nilai barat. Â Lalu tidak sesuai dengan ajaran Islam dapat menganggu nilai-nilai baik pesantren. Lingkungan pondok pesantren menjadi alat memberdaya korban. Prinsip penting pada adab seorang santri pada gurunya, kyai, anak ke orang tua, maupun yang muda kepada yang lebih tua, selama dalam kebenaran. Namun banyak disalahgunakan dan menjadi celah kekerasan hingga ke pelecehan seksual yang saat ini sering terjadi.
Seperti berita yang terjadi di pondok pesantren di Jawa Tengah, pelecehan seksual pada Sebagian santriwati dilakukan oleh pemimpin pesantren di Kota Semarang. Diduga di lakukan oleh BAA (46), pemimpin Pondok Pesantren Hidayatul Hikmah Al Kahfi Kelurahan Lempongsari, Kecamatan Gajahmungkur. Kasus ini terungkap 8 Agustus 2022, salah satu santriwati yang menjadi korban, mengadu pada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang.
Setelah satu tahun terakhir ditemukan setidaknya lima korban lain. Dari enam korban kekerasan seksual. Dan masih dibawah umur usianya. Jumlah korban lebih banyak dan dianalisis tidak semua berbicara dan mengungkap karena takut, Pada kasus ini BAA pada santriwati adalah pemerkosaan. Bedasarkan asesmen penilaian psikologi yang dianalisis pada rumah sakit daerah. Korban santriwati mengalami kecemasan berlebihan, somatisasi, hingga depresi akibat kekerasan seksual.
Para korban yang dititipkan oleh orangtuanya di pondok pesantren yang dikelola BAA dijanjikan dimasukan di pondok pesantren yang berada di Malang. Orang tua tersebut Jemaah pengajian BAA. Modus pelaku mengatakan bahwa dia orang tua dan guru yang harus dipatuhi dan dihormati. BAA juga memperdaya korban dengan modus mujahadat. Mengatakan bahwa setiap persoalan diselesaikan dengan bermujahadat dengan bersetubuh. Bermujahadat dan berakhir bejat ini dilakukan pada santriwati di pondok pesantren maupun hotel.
Kasus ini di amati oleh Legal Resource Centre sebagai keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) dan telah dilaporkan ke Kepolisian Resor Kota Besar Semarang. TIdak terduganya lagi Pondok Pesantren Hidayatul Hikmah Al Kahfi yang dikelola BAA ini ternyata tidak berizin Kementrian Agama Kota Semarang dan ditolak mentah sebagai tempat pondok pesantren. Karena kurikulum dan standarnya tidak memenuhi syarat pesantren. Seperti Lembaga penyalur pendidikan, kata Farid. Farid mengajukan permohonan ke Satuan Polisi Pamong Praja Kota Semarang untuk menutup tempat tersebut. Penutupan tidak bisa dilakukan Kemenag Kota Semarang karena tempat tidak berada dibawah naungan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H