Di era media sosial yang serba cepat, informasi mengalir deras dan tak terbendung. Sayangnya, di antara banjir informasi tersebut, terselip banyak disinformasi, yakni informasi yang salah dan menyesatkan. Disinformasi ini seringkali disebarkan dengan memanfaatkan kekuatan bahasa.
Teknik Bahasa dalam Disinformasi
Para penyebar disinformasi menggunakan berbagai teknik licik untuk membuat informasinya tampak meyakinkan. Salah satu caranya adalah framing, yakni membingkai informasi dengan sudut pandang tertentu yang menyesatkan. Misalnya, sebuah berita mungkin akan menggunakan judul bombastis dan penuh emosi untuk menarik perhatian pembaca, alih-alih fokus pada fakta yang sebenarnya.
Selain itu, disinformasi juga seringkali memanfaatkan emosi. Para penyebar disinformasi tahu bahwa orang cenderung lebih mudah terpengaruh oleh emosi daripada logika. Oleh karena itu, mereka seringkali menggunakan kata-kata dan frasa yang memicu ketakutan, kemarahan, atau sentimentilitas.
Teknik lain yang umum digunakan adalah penggunaan kata-kata dan frasa yang provokatif. Kata-kata seperti "bahaya," "krisis," atau "musuh" dapat membuat orang terpancing dan kurang berpikir kritis terhadap informasi yang mereka terima. Lebih parahnya lagi, para penyebar disinformasi terkadang tak segan-segan menggunakan kebohongan langsung atau memanipulasi data untuk membuat informasi mereka tampak kredibel.
Contoh Konkrit Disinformasi
Pada tahun 2020 dari semua banyak kasus salah satu diantaranya, sebuah video viral di media sosial yang menunjukkan seorang pria yang diklaim sebagai pasien virus corona. Video tersebut disertai narasi yang menyebutkan bahwa pria tersebut meninggal dunia setelah tertular virus corona. Faktanya, pria tersebut tidak meninggal dunia karena virus corona, melainkan karena penyakit lain. Video tersebut merupakan contoh disinformasi yang dapat menimbulkan kepanikan dan keresahan di masyarakat.
Dampak Disinformasi
Disinformasi yang beredar di media sosial dapat menimbulkan dampak negatif yang luas. Pada level individu, disinformasi dapat menyebabkan kebingungan, kecemasan, dan ketakutan. Seseorang yang termakan disinformasi kesehatan, misalnya, mungkin akan menghindari pengobatan yang sebenarnya dibutuhkan atau malah melakukan tindakan yang berbahaya.
Di tingkat masyarakat, disinformasi dapat memecah belah masyarakat dan merusak kepercayaan. Ketika orang terpapar informasi yang salah dan saling bertentangan, mereka bisa menjadi terpolarisasi dan sulit untuk berdialog. Hal ini dapat berujung pada konflik sosial dan rusaknya tatanan masyarakat.
Dampak disinformasi juga bisa meluas ke ranah demokrasi. Pemilu yang demokratis membutuhkan informasi yang akurat agar masyarakat dapat membuat pilihan yang tepat. Disinformasi yang disebarkan selama kampanye pemilihan umum dapat mempengaruhi opini publik dan berujung pada terpilihnya pemimpin yang tidak kredibel.
Melawan Disinformasi
Untuk melawan disinformasi, dibutuhkan usaha bersama dari berbagai pihak. Salah satu strategi yang penting adalah pendidikan dan literasi media. Masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan tentang disinformasi dan cara mengidentifikasinya. Ini bisa dilakukan melalui kampanye publik, kurikulum pendidikan, atau lokakarya khusus.
Selain itu, penting untuk melakukan pengecekan fakta sebelum membagikan informasi yang kita terima. Ada banyak situs web dan organisasi yang berdedikasi untuk memverifikasi informasi dan membongkar disinformasi. Biasakan untuk mengecek sumber informasi dari berita yang Anda baca sebelum menyebarkannya.
Masyarakat juga perlu mendukung jurnalisme yang berkualitas. Jurnalis yang profesional dan independen berperan penting dalam menyajikan informasi yang akurat dan terpercaya. Dengan mendukung media yang kredibel, kita dapat membantu masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar.
Tak ketinggalan, teknologi juga dapat berperan dalam melawan disinformasi. Para pengembang teknologi dapat  membuat platform yang lebih transparan dan memiliki mekanisme untuk mendeteksi serta menghapus konten yang mengandung disinformasi.
Disinformasi merupakan ancaman nyata yang harus dilawan bersama. Dengan memahami teknik bahasa yang digunakan dalam disinformasi, dampak negatifnya, dan strategi untuk melawannya, kita semua dapat berperan aktif dalam menciptakan ruang digital yang lebih sehat dan dipenuhi informasi yang akurat.
Sumber Informasi:
- Kominfo: https: //www.kominfo.go.id/content/detail/17700/literasi-digital-kerja-bersama-melawan-kepicisan/0/sorotan_media
- Kompas: https: //www.kompas.id/baca/riset/2020/10/21/mengapa-disinformasi-mudah-tersebar
- Universitas Terbuka: https://repository.ut.ac.id/9422/1/Melawan%20Hoax%20di%20Era%20Cyber.pdf
- Katadata: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/08/09/survei-kic-kominfo-publik-yang-anggap-berita-hoaks-hanya-masalah-kecil-semakin-banyak
- Tempo: https: https://koran.tempo.co/tag/bahasa-di-media-sosial
- The Conversation: https://theconversation.com/ai-dan-disinformasi-bagaimana-kecerdasan-buatan-dapat-memperparah-penyebaran-hoaks-jelang-pemilu-2024-212254
- DJKN Kemenkeu: https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kanwil-lampungbengkulu/baca-artikel/13912/Selamat-Tinggal-Hoax.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H