Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) merupakan salah satu undang-undang yang mengatur hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha. UU Ketenagakerjaan telah mengalami beberapa kali revisi.
Pemerintah diminta untuk melakukan revisi UU Ketenagakerjaan. Revisi ini bertujuan untuk menyesuaikan UU Ketenagakerjaan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
Berikut adalah beberapa perubahan yang harus direncanakan dalam revisi UU Ketenagakerjaan:
- Penyederhanaan regulasi
Regulasi dalam UU Ketenagakerjaan dinilai terlalu rumit dan berbelit-belit. Hal ini membuat pengusaha kesulitan dalam menerapkannya.
Revisi UU Ketenagakerjaan akan menyederhanakan regulasi agar lebih mudah dipahami dan diterapkan oleh pengusaha. Salah satu contohnya adalah dengan menghapus pasal-pasal yang dianggap tidak relevan atau tidak efektif.
- Peningkatan perlindungan pekerja
UU Ketenagakerjaan dinilai belum sepenuhnya melindungi pekerja. Hal ini terlihat dari masih banyaknya kasus pelanggaran hak pekerja, seperti upah yang tidak dibayarkan, jam kerja yang berlebihan, dan PHK sepihak.
Revisi UU Ketenagakerjaan akan meningkatkan perlindungan pekerja, antara lain dengan meningkatkan upah minimum, mempertegas aturan jam kerja, dan mempersulit PHK sepihak.
Pemerintah diminta untuk meningkatkan upah minimum secara bertahap hingga mencapai 50% dari median upah di suatu wilayah. Aturan jam kerja juga akan dipertegas, dengan menetapkan batas maksimal 8 jam kerja per hari dan 40 jam kerja per minggu. PHK sepihak juga akan dipersulit dengan menetapkan syarat-syarat yang lebih ketat, seperti adanya alasan yang jelas dan masuk akal.
- Peningkatan produktivitas kerja
UU Ketenagakerjaan dinilai belum mendorong produktivitas kerja. Hal ini terlihat dari masih rendahnya produktivitas kerja di Indonesia.
Revisi UU Ketenagakerjaan akan mendorong produktivitas kerja, antara lain dengan meningkatkan pelatihan dan sertifikasi tenaga kerja, serta memberikan insentif kepada pengusaha yang menerapkan sistem kerja yang fleksibel.