Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam kehidupannya selalu berinteraksi, komunikasi, saling mengidentifikasi, dan saling terikat antarsesama. Sebagai makhluk sosial, tentunya manusia memposisikan diri sebagai makhluk yang saling butuh-membutuhkan, perlu-memerlukan: bersama-sama-sama.Â
Tidak ada manusia di dunia ini yang dapat berdiri dengan sendirinya: menyelesaikan segala permasalahan dalam kehidupan tanpa bantuan orang lain ataupun mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Karenanya, sudah menjadi kewajaran manusia memandang antarsesama, sebagai makhluk yang saling melengkapi, kolaboratif, dan selalu hidup berdampingan sesuai titah manusia sebagai makhluk sosial.
Dalam islam, manusia merupakan ciptaan Allah swt., yang paling sempurna. Jika dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah yang lain (malaikat, iblis, hewan, tumbuhan). Malaikat memiliki akal, tidak dengan nafsu. Iblis memiliki akal dan nafsu, tapi dilaknat oleh Allah swt. Hewan, memiliki nafsu, tidak dengan akal. Sedangkan manusia memiliki kedua-duanya, dan makhluk ciptaan Allah swt., yang sangat dicintai dan disayangi.
Islam memandang manusia sebagai makhluk yang paling mulia dan memiliki derajat yang paling tinggi di sisi Allah swt. Tentunya dengan syarat dan ketentuan yang telah digaris bawahi oleh agama melalui perintah Allah swt., dan nabinya Muhammad saw.Â
Salah satu perintah Allah swt., dan nabinya yang sangat erat kaitanya dengan kontekstual manusia sebagai makhluk sosial: yang saling membutuhkan, saling memerlukan, saling bekerjasama adalah zakat. Pada konteks lain, zakat dalam islam termasuk dalam pembahasan muamalah: pembahasan tentang hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan alam disekitarnya.
Zakat merupakan salah satu rukun daripada rukun-rukun islam yang lima (mengucapkan dua kalimah syahadat, sembahyang, puasa, zakat, dan naik haji bagi yang mampu).Â
Dengan kata lain, zakat merupakan salah satu fondasi utama dalam islam. Hal ini menegaskan bahwa, zakat adalah salah satu syarat dan ketentuan khusus yang diperintahkan oleh Allah swt., yang bertujuan untuk melihat bagaimana konsistensi dan pengorbanan manusia terhadap sesama sebagai makhluk sosial melalui perintah Allah swt.Â
Dalam praktiknya, zakat merupakan ketentuan Allah swt., dan nabinya dan telah digaris bawahi oleh agama untuk menginfakkan atau menyisihkan sedikit hartanya dan diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Secara lahiriah, harta memang milik manusia itu sendiri. Namun, secara hakikat, harta tersebut merupakan milik Allah swt., yang dititipkan kepada manusia untuk difungsikan sebagai bahan atau alat dalam melengkapi kehidupan. Namun, disisi lain, harta itu pun sangat hina, andai harta tersebut tidak difungsikan sebagaimana ketentuan agama.
Di dunia ini, kebanyakan orang lalai dan diperdaya oleh harta dan kekayaan. Manusia hidup bermewah-mewahan, bergelimang harta, rakus dan sombong. Terlebih lagi di dunia yang serba materialistik sekarang. Peranan harta dalam aktivitas manusia sekarang sangat penting. Bahkan, dalam beberapa kasus, harta (dalam hal ini uang) menjadi salah satu penentu kehidupan manusia dalam pandangan manusia.
Manusia dipandang bermartabat dan memiliki posisi yang hebat jika dalam kehidupannya bergelimang harta. Pun, sosial (sekarang) memandang manusia melalui dimensi harta yang dimiliki oleh seseorang. Hal ini tidak lepas daripada orientasi dunia yang memandang segala-galanya dari segi materialistik. Nilai jual seseorang dipandang berada dan ada di tengah-tengah arus sosial melalui pandangan harta yang dimiliki.Â
Keretakan yang terjadi akibat pandangan tersebut dalam kehidupan sosial dan personal manusia adalah mengarah pada tujuan harta adalah segala-galanya. Jika dulu sosial dipandang sebagai salah satu wadah untuk mewujudkan rasa kemanusiaan, sekarang sosial menjadi lingkungan justifikasi terhadap seseorang atas keberadaanya di lingkungan tersebut andai seseorang tersebut tidak memiliki harta.