Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal Fahimy
Muhammad Iqbal Fahimy Mohon Tunggu... PELAJAR

Suara yang tak bernada. Detak yang tak berdenyut. Hiduplah!

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Memahami Overthinking dan Berdamai dengan Diri Sendiri

5 Juni 2022   00:10 Diperbarui: 30 Juni 2022   12:42 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pixabay.com/Peggy_Marco

Sehemat penulis, kata overthinking baru-baru ini saja muncul. Kurang lebih, satu dekade terakhir, saat dunia dilanda oleh gempuran globalisasi yang luar biasa. 

Overthinking merupakan salah satu masalah kejiwaan (psikis). Menurut ilmu psikologi, overthinking adalah pemikiran yang berlebihan terhadap sesuatu hal. 

Misalnya, seseorang yang kepikiran terhadap pasangannya (pacar/doi/gebetan) yang tidak mengabarinya selama beberapa hari, hingga timbul asumsi-asumsi dia selingkuh, tidak peduli, dan diabaikan.

Apakah itu hal yang wajar? Pada dasarnya rasa cemas dan gelisah, secara alamiah, adalah sebuah kewajaran. Sudah menjadi sifat manusia jika dilanda rasa cemas dan gelisah terhadap sesuatu.

Namun, ketidakwajaran tersebut timbul di saat rasa cemas dan gelisah itu berlebihan dan keluar daripada logika, sifat alamiah, dan perasaan wajar seorang manusia.

Hal-hal tersebutlah yang kemudian dikatakan overthinking (kegelisahan yang berlebihan). 

Jika kita telaah lebih dalam, overthinking tidak lebih daripada kebuntuan pikiran terhadap sesuatu yang belum tentu benar dan terjadi. Seperti seorang mahasiswa yang gelisah saat nge-chat dosen untuk bimbingan atau sekedar menanyakan "Apa kabar?"

Karena doktrin, dogmatis, dan kabar-kabar burung yang menyatakan bahwa seorang dosen adalah manusia yang super sibuk atau sekedar takut diabaikan, mahasiswa enggan untuk berkomunikasi secara intens dengan seorang dosen.

Padahal, menurut salah seorang dosen penulis, dosen sangat senang dan bahagia jika mahasiswa menganggap dosen tersebut bukan sebagai makhluk yang feodal. 

Dosen pun sangat senang terhadap mahasiswa yang sopan, beretika, dan memiliki tata krama. Karena bagi dosen value (nilai) seorang mahasiswa terletak pada etikanya.

Namun, karena doktrin, dogmatis, dan kabar-kabar burung yang belum tentu benar, kita enggan berkomunikasi secara "manusiawi' dengan dosen dan menganggap dosen adalah cerminan daripada kesempurnaan yang jika salah, akan menjelma kebencian.

Ada korelasi antara doktrin, dogmatis, atau kabar-kabar burung yang menciptakan overthinking. Yaitu sifat tidak boleh, tidak baik, tidak betul, tidak mungkin, yang mengotak-ngotakkan pikiran kita hingga tercipta belenggu kuat yang sukar untuk di hancurkan.

Jika kita akarkan masalah overthinking secara prinsip, overthinking hanyalah sebuah ilusi yang membelenggu manusia. Belenggu yang terbuat dari kekhawatiran, kecemasan, kegelisahan, dan ketakutan yang berlebihan terhadap sesuatu hal yang sesuatu tersebut bersifat abstrak (samar-samar).

Dalam dimensi sastra, dikenal istilah fiksi yaitu suatu rekaan atau tidak mengandung kebenaran yang nyata. 

Mungkin, kita pernah membaca, menonton, atau sekedar mendengar novel Tenggelamnya Kapan Van Der Wijck karya Alm. Prof. Buya Hamka dan novel Siti Nurbaya karya Alm. Marah Roesli.

Novel yang begitu spektakuler, kontroversial, dan hebat tersebut, dibangun atas dasar-dasar kenyataan yang kemudian dibungkus dalam bingkaian fiksi.

Kita tidak akan pernah menemukan tokoh Zainuddin dan Hayati (dalam novel Tenggelamnya Kapan Van Der Wijck) atau tokoh Siti Nurbaya dan Datuk Maringgih (dalam novel Siti Nurbaya), atau tokoh-tokoh lainnya dalam kehidupan nyata. 

Mereka semua tercipta melalui manifestasi dari Alm. Prof. Buya Hamka dan Alm. Marah Roesli saat melihat lingkungan sosial yang ada disekitarnya.

Demikian juga overthinking. Ia tercipta melalui pemikiran-pemikiran yang berlebihan, hingga berwujud kecemasan dan kegelisahan yang pada kenyataannya, hal tersebut belum pernah atau tidak pernah terjadi.

Overthinking tidak lebih daripada ilusi yang jika diibaratkan seperti dua sisi mata uang: yang tidak dapat dipisahkan dan selalu menyatu. 

Ilusi yang selalu ditolak oleh kenyataan dan tidak akan pernah bersatu. Ilusi hanya mengumpulkan khayalan, kepalsuan, dan kefanaan yang tidak akan pernah habis dan berakhir.

Orang-orang yang terbelenggu dalam overthinking yang tidak berkesudahan, adalah orang-orang yang hanyut dalam ilusi kefanaan yang tidak berujung.

Karena, overthinking adalah pintu untuk memasuki jurang ilusi yang penuh kehampaan.

Sebab itu, tidak wajar seorang manusia selalu berada dalam pusaran overthinking. Manusia adalah inisiator, penggerak, dan pemilik hak penuh terhadap keberlangsungan hidup personalnya.

Segala tujuan dan impian adalah hak istimewa yang selalu melekat dan tidak boleh disalahgunakan, apalagi dibelenggu oleh khayalan yang tak pasti.

Semua kita, memiliki hak untuk bahagia dan merdeka. Melepaskan diri dari overthinking yang berlebihan adalah kuncinya. Tidak ada apapun di dunia ini yang patut dirisaukan dan dicemaskan secara berlebihan.

Seperti sebuah ungkapan, "Singa menganggap dirinya raja hutan, sedangkan harimau berjalan seakan-akan tidak ada raja di hutan".

Kita memiliki versi terbaik dari kita sendiri. Memiliki desain terbaik dari diri kita sendiri. Seperti Singa seorang raja, dan seperti Harimau yang tak peduli pada siapa raja.

Jadilah versi terbaik dari diri sendiri. Jangan mudah menyerah, resah, atau pasrah. Kita memiliki dimensi kelebihan yang luar biasa yang diberikan. 

Bahkan, Tuhan pun pernah berkata, "Manusia, adalah sebaik-baik bentuk makhluk ciptaan Ku".

Jika Tuhan saja sudah mengakui kita, lantas apa hal yang perlu dirisaukan secara berlebihan?

Perlu diingat, tidak ada kecemasan sejati kecuali pemikiran yang selalu dibelenggu oleh ilusi dan tidak ada kebahagiaan sejati kecuali berdamai dengan diri sendiri.

Seperti sebuah nasihat, "Orang yang tidak bisa menciptakan kebahagiaan dirinya, maka orang lain tidak akan mampu menciptakan kebahagiaan baginya". Maka, mari ciptakan kebahagiaan untuk diri sendiri: dari diri sendiri, oleh diri sendiri, tentunya, untuk diri sendiri (dulu). 

Never Give Up. You the Best if You Know Who You!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun