Tidak terasa, ramadan hendak pergi meninggalkan kita. Setelah hampir berperang (menahan lapar minum dan hawa nafsu) Â selama kurang lebih sebulan penuh, ramadan bulan yang paling ditunggu-tunggu oleh umat islam di seluruh dunia akan pergi untuk perjumpaan yang lama.
Perginya ramadan ini meninggalkan kesan dan pesan bagi setiap individu maupun kolektif. Kesan dan pesan tersebut dimanifestasikan dalam berbagai bentuk.Â
Ada yang merasa tidak ingin berpisah dengan ramadan karena bulan ini memiliki keistimewaan tersendiri dalam hidupnya, bahkan bulan ramadan menjadi salah satu dari sekian bulan yang paling di tunggu-tunggu. Entah sebagai bulan perlombaan dalam mendekatkan diri kepada Allah swt., ataupun sebagai bulan mengistirahatkan jiwa dan raga dari gejolak dunia.
Ada juga yang merasa khawatir karena berpisah dengan ramadan. Kekhawatiran tersebut muncul karena beberapa hal. Salah satunya adalah kadar perubahan seseorang tersebut yang belum maksimal ataupun belum terlihat.Â
Maksudnya, bulan ramadan merupakan bulan yang sangat istimewa. Di bulan ramadan, berkah, rahmat, ampunan, dan kebaikan-kebaikan yang diberikan oleh Allah swt., sangat banyak dan berlipat-lipat ganda
Tentu, dengan keistimewaan tersebut, orang-orang mencari salah satu ataupun semua daripada keistimewaan bulan ramadan. Namun, ada orang-orang yang tidak merasakan keistimewaan bulan ramadan karena faktor alamiah ataupun kontekstual. Hal ini menyebabakan seseorang merasa belum puas dengan perginya ramadan.
Disamping semua itu, ada juga orang-orang yang merelakan kepergian ramadan dengan ketabahan (walaupun membekas rasa sedih dan gelisah karena berpisah dengan ramadan).Â
Orang-orang yang 'mengikhlaskan' kepergian ramadan adalah orang-orang yang menemukan keistimewaan dan keberkahan dalam dirinya karena hadirnya ramadan melalui metode, praktek, dan implementasi yang telah diajarkan agama tentang memaknai bulan ramadan.Â
Karena dapat memaknai ramadan dengan baik, orang-orang tersebut merelakan kepergian ramadan dengan keikhlasan dan perbaikan diri yang lebih baik pula.
Hingga pada satu tahapan, suka atau tidak suka, rela atau tidak rela, ramadan akan segera pergi. Oleh sebab itu, kepergian ramadan harus kita maknai dengan sebaik-baik mungkin. Jika di awal-awal ramadan, kualitas (kebaikan) diri kita belum baik, maka di penghujung ramadan ini kita usahakan semaksimal mungkin.
Jika pun awal ramadan kita tidak dapat memaknai dan mendapati keelokan bulan ramadan, setidaknya di akhir ramadan ini, kita dapat memaknai dan memperoleh keistimewaan ramadan tersebut.Â
Bagaimanapun, pertemuan dengan ramadan adalah pertemuan yang sangat menggembirakan walau sesaat. Kepergian ramadan haruslah kita maknai sebagai kepergian yang membahagiakan dalam artian kita dapat mengambil hikmah dan menjadi salah satu bulan pelatihan untuk memperbaiki diri.
Karena, belum tentu kita akan berjumpa dengan ramadan tahun depan. Andai pun kita berjumpa dengan ramadan tahun depan, mungkin saja dengan situasi dan kondisi yang berbeda ataupun sebaliknya.Â
Karenanya, selagi ramadan mempersiapkan barang-barang bawaannya untuk pergi, kita harus memberikan kesan yang menarik dan bagus kepada ramadan.Â
Upaya ini kita lakukan sebagai wujud rasa terima kasih atas berkah dan rahmat Allah swt., yang telah mempertemukan kita dengan ramadan dengan kondisi dan situasi yang begitu baik.Â
Puncaknya, kita dapat meraih kemenangan ramadan dengan hati, pikiran, dan diri yang lebih baik, agar kelak, ramadan menjadi salah satu syafaat yang mengantarkan kita kepada keridhaan Allah swt., amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H