Pengenalan
Kuta Gle adalah kompleks salah satu benteng pertahanan Kerajaan Aceh (1878-1901) dalam menghadapi invasi Belanda pada akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-18. Terletak di daerah perbukitan yang strategis, benteng ini berdiri teguh sebagai saksi bisu dari perjuangan gigih para pejuang Aceh dalam mempertahankan tanah air mereka dari penjajah.
Benteng Kuta Gle adalah situs bersejarah yang terletak di Batee Iliek Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh. Benteng ini tidak hanya berfungsi sebagai benteng pertahanan tetapi juga menjadi simbol perlawanan rakyat Aceh terhadap penjajah Belanda. Dibangun pada masa Kesultanan Aceh, benteng ini memiliki nilai historis yang penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Benteng Kuta Gle didirikan pada abad ke-17 oleh Kesultanan Aceh. Benteng ini dibangun dengan batuan karang yang kuat, menjadikannya sangat kokoh dan sulit untuk ditembus oleh musuh. Arsitektur benteng ini mencerminkan gaya pertahanan khas Aceh dengan dinding yang tebal dan area pengintai yang strategis.
Peran dalam Perang Aceh
Benteng Kuta Gle memainkan peran penting dalam Perang Aceh yang berlangsung dari tahun 1873 hingga 1904. Benteng ini menjadi salah satu pusat perlawanan rakyat Aceh terhadap penjajahan Belanda. Banyak pertempuran sengit terjadi di sekitar benteng ini, dan banyak pahlawan lokal yang gugur mempertahankannya.
Sejak tahun 1888, Belanda berulang kali mencoba menyerang dan menguasai Benteng Kuta Gle, namun selalu mengalami kekalahan. Keberanian dan taktik perang para pejuang Aceh berhasil menahan gempuran musuh yang datang dengan persenjataan lebih modern. Namun, pada tahun 1901, Belanda melancarkan serangan besar-besaran dengan peralatan militer yang jauh lebih canggih dan berhasil meluluhlantakkan benteng tersebut.
Kekalahan ini menandai akhir dari perlawanan besar yang terorganisir dari Kerajaan Aceh terhadap Belanda, meskipun perlawanan sporadis tetap berlangsung selama beberapa tahun berikutnya. Benteng Kuta Gle, yang dulunya megah, menjadi saksi bisu dari perjuangan rakyat Aceh yang gigih mempertahankan tanah airnya.
Ketokohan Tgk. Chik Kuta Gle
Tgk Chik Kuta Gle adalah seorang ulama dan pejuang yang terkenal dalam sejarah Aceh. Beliau dikenal sebagai salah satu tokoh yang gigih mempertahankan Benteng Kuta Gle dari serangan Belanda. Tgk Chik Kuta Gle dikenal sebagai panglima yang memimpin pasukan pejuang Aceh di  Benteng Kuta Gle. Beliau dikenal sebagai salah satu simbol keberanian dan keteguhan rakyat Aceh dalam menghadapi penjajahan.
Tgk Chik Kuta Gle memiliki peran penting dalam mengorganisir dan memimpin pertahanan Benteng Kuta Gle. Beliau dikenal tidak hanya karena keberaniannya di medan perang tetapi juga karena kepandaiannya dalam strategi militer. Kepemimpinannya memberikan semangat dan motivasi kepada para pejuang untuk tetap berjuang meski dalam kondisi yang sangat sulit.
Warisan Tgk Chik Kuta Gle masih terasa hingga kini. Nama beliau diabadikan sebagai salah satu pahlawan Aceh yang dihormati. Banyak cerita kepahlawanan beliau yang masih diceritakan dari generasi ke generasi, menjadi inspirasi bagi perjuangan rakyat Aceh untuk mempertahankan kedaulatan dan martabat mereka.
Nama Kuta Gle mungkin tidak begitu familiar bagi sebagian besar masyarakat Aceh sekarang, namun begitu akrab bagi para pemerhati dan peneliti sejarah Aceh dan juga bagi sejarawan Belanda, karena Kuta Gle merupakan sebuah benteng besar di masa Kerajaan Aceh yang juga merupakan benteng terakhir.
Simbol Kebangkitan dan Pendidikan
Sejak Belanda berhasil mengalahkan pertahanan Kuta Gle, mulai saat itu Kuta Gle menjadi daerah terbengkalai sehingga menjadi hutan belantara. Satu-satunya kawasan kecil dari benteng Kuta Gle yang sedikit terawat adalah lokasi pemakaman para syuhada yang gugur dalam agresi Belanda. Salah satu dari mereka adalah Tgk. Chik Kuta Gle yang merupakan ketua/pimpinan.
Setelah sekian lama terbengkalai, pada tahun 2012 seorang ulama karismatik Aceh, Syekh H. Hasanoel Bashry HG (Abu Mudi), memprakarsai pendirian Dayah Jamiah Al-Aziziyah di sekitar lokasi tersebut. Mulai saat itu lokasi tersebut mulai dibersihkan dan dirapikan. Beberapa bukit diratakan untuk didirikan asrama santri, ruang belajar, mushalla dan sebagainya.
Saat ini, lokasi yang telah menjadi kompleks Dayah Jamiah Al-Aziziyah tersebut sebagian besarnya telah tertata rapi. Dan setelah mengalami beberapa kali perluasan sehingga mencapai 20 hektar lebih, Kuta Gle kini telah berubah wajah menjadi kampung santri. Hal ini membuat Dayah Jamiah Al-Aziziyah memiliki daya tarik tersendiri dengan menjadi detinasi wisata sejarah Benteng Kuta Gle.
Hadirnya Dayah Jamiah Al-Aziziyah di bekas lokasi Benteng Kuta Gle ini menimbulkan dampak positif bagi masyarakat sekitar dan juga bagi literasi sejarah. Karena selain menghidupkan kawasan yang telah terbengkalai, juga menjadikannya sebagai tempat menuntut ilmu agama, sehingga membuat sejarah perjuangan tersebut tetap hidup dalam ingatan masyarakat. Secara tidak langsung, Dayah Jamiah Al-Aziziyah tidak hanya berfungsi sebagai tempat belajar, tetapi juga sebagai pengingat akan masa lalu yang penuh perjuangan. Ini menunjukkan bagaimana sejarah dapat dihidupkan kembali melalui pendidikan dan pelestarian warisan budaya.
Dengan menghidupkan kembali lokasi Benteng Kuta Gle, dapat memberikan warisan berharga bagi generasi mendatang. Kisah perlawanan dan keteguhan hati para pejuang Aceh kini menjadi inspirasi bagi santri dan masyarakat luas. Benteng Kuta Gle tidak hanya berbicara tentang masa lalu, tetapi juga tentang harapan dan kebangkitan untuk masa depan yang lebih cerah.
Muhammad Iqbal
UNSIA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H