Sejak periode Repelita VI pada era Orde Baru, pemerintah Indonesia mulai memperhatikan sektor kelautan dalam pembangunan nasional. Sebelumnya, fokus utama adalah eksploitasi sumber daya daratan yang meliputi potensi besar dari sumber daya mineral dan hayati seperti hutan. Namun, dengan berlalunya waktu dan habisnya sumber daya daratan seperti hutan, serta sulitnya menemukan sumber daya baru seperti minyak dan gas, perhatian pemerintah beralih ke sektor kelautan.
Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengidentifikasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai sumber daya hayati (seperti ikan, terumbu karang, dan mangrove), sumber daya nonhayati (seperti pasir dan mineral laut), sumber daya buatan (infrastruktur kelautan terkait dengan kelautan dan perikanan), serta jasa-jasa lingkungan (seperti keindahan alam dan energi gelombang laut).
Meskipun Indonesia memiliki potensi kelautan yang besar, hanya sebagian kecil dari potensi tersebut yang telah dimanfaatkan secara optimal. Contohnya, potensi perikanan laut baru dimanfaatkan sebesar 62%, sedangkan potensi perikanan pantai dan pariwisata bahari juga masih tergarap sebagian kecil. Biota laut yang berpotensi untuk industri pangan, kosmetik, dan farmasi juga hanya dimanfaatkan sebagian kecil. Perhubungan laut, baik dalam negeri maupun internasional, masih banyak didominasi oleh pelayaran asing.
Secara keseluruhan, meskipun potensi sumber daya laut Indonesia sangat besar, pengelolaannya belum mencapai potensi maksimal yang tersedia.
Pengembangan model adaptasi teknologi marikultura, khususnya dalam pembudidayaan hasil laut, merupakan tahapan strategis yang sangat penting. Proses adaptasi teknologi ini tidak hanya mencakup pengembangan keterampilan teknis, tetapi juga melibatkan pengorganisasian dan peningkatan kemampuan manajerial. Berikut adalah tahapan yang akan ditawarkan kepada kelompok masyarakat nelayan secara garis besar:
a) Pelatihan dan demonstrasi dalam budidaya hasil laut akan dilakukan secara bertahap dan bergilir kepada kelompok nelayan di wilayah target.
b) Pemagangan akan diberikan kepada kelompok nelayan yang telah melalui tahap pelatihan, sehingga proses adaptasi teknologi dapat tersebar lebih luas.
c) Studi banding akan dilakukan ke daerah yang lebih maju, dimana kelompok nelayan yang dianggap mampu menjadi penggerak akan dipilih untuk mengunjungi daerah tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H