Mohon tunggu...
Muhammad Imron
Muhammad Imron Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Buruh Tulis

Jika tidak ada kuasa untuk bicara, tulislah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Negeri, Sebenarnya untuk Siapa?

21 Juli 2020   11:27 Diperbarui: 21 Juli 2020   13:27 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar hanya ilustrasi. (sekolah.data.kemdikbud.go.id)

Pesan terbuka untuk seluruh pemangku kepentingan sektor pendidikan.

Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) kian menjadi polemik beberapa tahun terakhir. Sebenarnya ini adalah polemik lama yang kembali terpantik oleh sekumpulan orangtua (berseragam sekolah) yang melakukan unjuk rasa di Jakarta. Beberapa kota/kabupaten di luar Ibukota sudah mendahului gelombang protes ini, mulai dari Surabaya, beberapa kabupaten/kota di Jawa Tengah, dan beberapa wilayah lainnya. 

Polemik ini lahir sebagai buntut atas keputusan besar yang sedang diwacanakan oleh Pemerintah untuk secara penuh menghapuskan sistem Ujian Nasional (UN) di seluruh tingkatan pendidikan yang dinilai sudah tidak lagi efektif dalam penilaian kualitas pengetahuan peserta didik.

Hal tersebut dilakukan sejatinya untuk menghapus stigma yang selama ini beredar, "Pendidikannya tiga hingga enam tahun, kenapa yang dinilai hanya tiga hari? Bisa saja siswa/I itu sedang tidak dalam kondisi maksimal ketika menjalani penilaian sehingga mendapatkan nilai yang kurang memuaskan," begitu kata sebagian besar orang. Selain itu, perubahan konsep PPDB ini juga dilakukan dalam hal penyetaraan kualitas sekolah di daerah terkait, sehingga sekolah unggulan tidak lagi menjadi idaman.

Tetapi, formulasi kebijakan baru sepertinya akan cukup sulit diputuskan oleh Pemerintah, karena sedari dulu, status "sekolah negeri" tidak memiliki pondasi berpikir yang kokoh. Sekolah negeri itu memangnya dibangun untuk siapa? Untuk mereka yang berprestasi atau untuk mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi?

Banyak yang tidak bisa menjawab ketika saya berikan pertanyaan itu, terutama mereka yang tinggal di Jakarta, dengan status sekolah negeri yang notabene sudah bebas biaya, mulai dari SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) hingga 'tetek bengek'-nya.

Sebagian besar orang menjabarkan alasannya menginginkan sekolah negeri dengan dua jawaban, kualitas yang terjamin, dan juga bebas biaya. Secara kualitas, semua sekolah negeri (terutama di Jakarta) memiliki tingkat ketimpangan yang rendah. Sekolah unggulan sudah tidak begitu dominan, karena adanya beberapa program dan kebijakan pemerintah, terutama giatnya rotasi guru dan pimpinan sekolah.

Walaupun beberapa anggapan "sekolah unggulan" sesekali masih terdengar. Hal ini cukup berbeda dengan sekolah swasta, yang ketimpangannya terlihat cukup jelas. 'Money talk' atau istilah "ada harga, ada rupa", begitu prinsip sekolah swasta. Sekolah swasta yang berkualitas kemungkinan besar akan sulit untuk digapai oleh mereka yang memiliki keterbatasan biaya, sehingga mereka berlomba-lomba memberikan 'effort' maksimal untuk dapat terserap oleh sekolah negeri.

Begitu pun mereka yang berprestasi (walaupun dengan kemampuan ekonomi yang baik). Mereka juga sedang berlomba masuk ke sekolah negeri karena serapan untuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan lapangan pekerjaan yang tinggi.

Kembali kepada pertanyaan awal, Pemerintah sebenarnya membangun sekolah negeri untuk siapa? Teka-teki yang harus secepatnya dipecahkan oleh Pemerintah untuk mengurangi polemik ini.

Jika sekolah negeri memang diperuntukkan untuk mereka yang miskin, dalam PPDB, utamakan saja status ekonomi. Jakarta telah memiliki Kartu Jakarta Pintar (KJP), perbanyak saja serapan dari program tersebut untuk disalurkan pada berbagai sekolah negeri yang tersebar.

Berhubung Kartu Jakarta Pintar (KJP) juga saat ini 'terdengar' memiliki surveyor yang cukup rajin untuk turun langsung ke lapangan dalam melakukan analisa tingkat ekonomi pemegang kartu.

Pekerjaan rumah selanjutnya adalah membangun relasi negeri-swasta dalam rotasi tenaga pengajar sehingga dapat menyetarakan menciptakan kualitas setiap sekolah, dan juga memberikan bantuan biaya dalam pengembangan sekolah yang memiliki serapan dana rendah.

Jika memang sekolah negeri itu diutamakan untuk mereka yang berprestasi, pengambilan nilai rapor harian bisa dijadikan acuan dominan dalam penentuan serapan, layaknya penerimaan jalur undangan Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), walaupun sebenarnya cara ini rawan subjektivitas, karena nilai merupakan hak prerogatif pemberi nilai.

Jika memang keputusan ini yang akhirnya diputuskan oleh pemangku kepentingan, berarti Pemerintah harus mengeluarkan anggaran lebih untuk menjamin stabilitas perekonomian mereka yang berada pada kelas menengah ke bawah, berhubung Kartu Jakarta Pintar (KJP) hanya bertugas untuk meringankan beban, bukan membebaskan beban.

Keberadaan KJP bukan membayarkan SPP peserta didik, tetapi hanya memberikan uang saku bulanan, itu juga dengan pencairan anggaran yang begitu tidak menentu. 

Bukti jika banyak yang tidak mampu sekolah di swasta (bukti diperoleh sendiri)
Bukti jika banyak yang tidak mampu sekolah di swasta (bukti diperoleh sendiri)
Dalam hal melindungi stabilitas ekonomi dan menjamin penyerataan pendidikan masyarakat, mengapa Pemerintah tidak meniru program lama yang sudah ada? Program bidikmisi dinilai merupakan salah satu program berhasil yang pernah keluar pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Program tersebut ditujukan untuk memberi kesempatan bagi mereka yang memiliki keterbatasan dalam hal ekonomi untuk dapat melanjutkan pembelajaran ke ranah pendidikan tinggi. Program tersebut memberikan kebebasan dalam pembayaran SPP kuliah dan juga pemberian uang saku (walaupun pencairan uang saku juga terkadang tidak menentu dan acap kali terlambat).

Jika sekolah negeri memang ditujukan untuk mereka yang berprestasi, Pemerintah memiliki tanggungan untuk menjamin seluruh masyarakat (terutama menengah ke bawah) agar mendapatkan pendidikan yang layak. Ini merupakan amanat pembukaan UUD 1945 alinea ke-empat dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa.

Perumusan jawaban atas satu pertanyaan penting tersebut setidaknya dapat menjadi pondasi berpikir Pemerintah dalam pembuatan keputusan yang (diharapkan) dapat mewakili semua pihak yang dituju. Walaupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah berkata, "Keputusan dan kebijakan apapun tidak akan pernah memuaskan semua pihak. Jika niat, tujuan, dan konsepnya baik, lakukan saja." Suatu kebijakan akan terlahir lebih maksimal jika memiliki pijakan yang jelas, sehingga meminimalkan adanya polemik. PPDB tahun ini sudah terlewat dengan perasaan yang nano-nano. Kini ada beberapa pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh Pemerintah untuk tahun depan agar polemik ini tidak lagi terulang, yakni memastikan, sekolah negeri itu sejatinya untuk siapa? Untuk mereka yang cerdas, atau mereka yang terbatas? Atau milik semua masyarakat Indonesia? Solusi (solution) akan lahir ketika kita sudah paham atas masalah (problem) yang ada. Jika masalahnya saja kita tidak paham, lalu dari mana munculnya solusi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun