FENOMENA NIKAH SIRI DALAM NEGARA HUKUM INDONESIA
Perkawinan dalam Islam disebut pernikahan. Pernikahan bagi umat Islam merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri berdasar akad nikah dengan tujuan membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang bahagia sesuai hukum Islam. Pernikahan dalam Islam dispesialisasikan sebagai sebuah bentuk ikatan yang sangat kuat atau mitsaqon ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Oleh karena demikian pentingnya perkawinan atau pernikahan, maka ia harus dilakukan menurut ketentuan hukum Islam dan oleh karena itu keberadaannya perlu dilindungi oleh hukum Negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar perkawinan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Perkawinan yang tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak mempunyai kekuatan hukum (vide Ps. 2 UU No.1/1974 jo. Ps.2 (1) PP. No.9/1975).
Namun, pada kenyataannya tidak semua umat Islam Indonesia mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, sehingga masih ada - bahkan cukup banyak - di antara masyarakat muslim dengan berbagai alasan melakukan pernikahan di bawah tangan, atau nikah siri dalam arti pernikahan tersebut tidak dicatat oleh pejabat yang berwenang untuk itu.
NIKAH SIRRI
Nikah Sirri berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kosa kata yaitu “nikah”dan “sirri”. Nikah yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan. Kata “nikah” sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah. Sedangkan kata Sirri berasal dari bahasa Arab “Sirr” yang berarti rahasia. Dengan demikian beranjak dari arti etimologis, nikah sirri dapat diartikan sebagai pernikahan yang rahasia atau dirahasiakan. Dikatakan sebagai pernikahan yang dirahasiakan karena prosesi pernikahan semacam ini sengaja disembunyikan dari public dengan berbagai alasan, dan biasanya hanya dihadiri oleh kalangan terbatas keluarga dekat, tidak dimeriahkan dalam bentuk resepsi walimatul ursy secara terbuka untuk umum.
Adapun nikah siri yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita yang sudah cukup umur menurut undang-undang akan tetapi mereka sengaja melaksanakan perkawinan ini di bawah tangan, tidak dicatatkan di KUA dengan berbagai alasan. Pernikahan ini mungkin terjadi dengan alasan menghemat biaya, yang penting sudah dilakukan menurut agama sehingga tidak perlu dicatatkan di KUA. Atau mungkin, pernikahan itu dilakukan oleh seseorang yang mampu secara ekonomi, akan tetapi karena alasan tidak mau repot dengan segala macam urusan administrasi dan birokrasi sehingga atau karena alasan lain, maka ia lebih memilih nikah sirri saja.
FAKTOR PENYEBAB NIKAH SIRI
Fenomena pernikahan di bawah tangan atau nikah sirri bagi umat Islam di Indonesia masih terbilang banyak. Bukan saja dilakukan oleh kalangan masyarakat bawah, tapi juga oleh lapisan masyarakat menengah keatas. Sebut saja kasus nikah sirri Aceng Fikri, mantan Bupati Garut dan kasus nikah sirri Syekh Puji beberapa tahun silam. Kondisi demikian terjadi karena beberapa factor yang melatarbelakanginya, yang secara umum nikah siri yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh beberapa factor, antara lain :
a. Kurangnya Kesadaran dan Pemahaman Hukum Masyarakat
Masih banyak di antara masyarakat kita yang belum menyadari dan memahami sepenuhnya betapa pentingnya pencatatan perkawinan. Kalaupun dalam kenyataannya perkawinan itu dicatatkan di KUA sebagian dari mereka boleh jadi hanya sekedar ikut-ikutan belaka. Atau mungkin mereka menganggapnya sebagai tradisi yang lazim dilakukan oleh masyarakat setempat. Barangkali pencatatan perkawinan itu hanya dipandang sekedar soal administrasi, belum dibarengi dengan kesadaran sepenuhnya akan segi-segi manfaat dari pencatatan perkawinan tersebut. Padahal pencatatan perkawinan yang merupakan perintah undang-undang itu sesungguhnya mempunyai tujuan penting, yakni proses dokumentasi atas perbuatan hukum perkawinan itu sendiri sehingga kemudian akan memberikan perlindungan hukum bagi suami isteri yang bersangkutan beserta anak turunnya di kemudian hari, sehingga dimulai dari terbentuknya keluarga sebagai unit masyarakat terkecil yang tertib hukum akan tercipta kehidupan masyarakat bangsa yang madani.
b. Sikap Apatis Sebagian Masyarakat Terhadap Hukum
Sebagian masyarakat ada yang bersikap masa bodoh terhadap ketentuan peraturan yang menyangkut perkawinan. Kasus pernikahan Syekh Puji dengan perempuan di bawah umur bernama Ulfah dan kasus pernikahan sirri Aceng Fikri, mantan Bupati Garut, sebagaimana terkuak di media massa merupakan contoh nyata sikap apatis terhadap keberlakuan hukum Negara. Dari pemberitaan media massa tersebut, dapat kita pahami terdapat dua hal yang diabaikan oleh Syekh Puji maupun Aceng Fikri yaitu, pertama, pernikahan tersebut merupakan poligami yang tidak melalui izin di pengadilan, dan kedua, dalam kasus pernikahan sirri Syekh Puji, beliau tidak mau mengajukan permohonan dispensasi kawin meskipun calon isteri tersebut masih di bawah umur menurut undang-undang perkawinan.
Sikap apatisme semacam itu, terutama yang dilakukan oleh public figure, sungguh merupakan hambatan besar bagi terlaksananya keberlakuan hukum. Karena apa yang dilakukan oleh seorang tokoh masyarakat, biasanya akan dicontoh oleh mereka yang mengidolakannya. Oleh karena itu penanganan secara hukum atas kasus yang menimpa Syekh Puji dan Aceng Fikri adalah tepat agar tidak menjadi preseden buruk bagi bangsa Indonesia yang saat ini sedang berusaha memposisikan supremasi hukum dalam sebuah Negara hukum yang bernama Indonesia.
c. Ketentuan Pencatatn Perkawinan Yang Tidak Tegas
Sebagaimana kita ketahui, azas pokok dari sahnya perkawinan tercantum dalam ketentuan pasal 2 UU No.1 / 1974 merupakan. Ketentuan ayat (1) dan (2) dalam pasal tersebut harus dipahami sebagai syarat kumulatif, bukan syarat alternative sahnya suatu perkawinan. Dari norma hukum tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi dasar bagi umat Islam terhadap wajibnya mencatatkan perkawinan mereka. Akan tetapi ketentuan tersebut mengandung kelemahan karena pasal tersebut multi tafsir dan juga tidak disertai sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan perkawinan dalam undang-undang tersebut bersifat tidak tegas dan ambigu. Itulah sebabnya revisi UU Perkawinan sudah saatnya dilakukan secepatnya. Karena ketidak-tegasan ketentuan pencatatan dalam undang-undang yang berlaku selama ini masih memberi ruang gerak yang cukup luas bagi pelaksanaan nikah sirri bagi sebagian masyarakat yang melakukannya. Hal tersebut juga menjadi salah satu factor penyebab terjadinya pernikahan sirri.
d. Ketatnya Izin Poligami
Perkawinan di Indonesia menganut azas monogamy (UU No.1/1974), akan tetapi masih memberikan kelonggaran bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk melakukan poligami (salah satunya agama Islam) dengan persyaratan yang sangat ketat, sehingga dengan sulitnya untuk dipenuhinya syarat-syarat oleh seorang suami, maka hal tersebut dapat menimbulkan: perkawinan “clandestine” dan hidup bersama (samenleven). Perkawinan “clandestine” adalah perkawinan yang pelangsungannya secara sah memenuhi syarat, akan tetapi terdapat cacat yuridis di dalamnya. Misalnya seorang calon suami dalam pemberitahuan kehendak kawin mengaku jejaka atau menggunakan izin palsu. Ketatnya izin poligami juga menyebabkan yang bersangkutan lebih memilih nikah di bawah tangan atau nikah sirri karena pelangsungan (tata cara) pernikahan di bawah tangan lebih sederhana dan lebih cepat mencapai tujuan yaitu kawin itu sendiri.
KEDUDUKAN NIKAH SIRI DALAM SEBUAH NEGARA HUKUM
Dari sudut pandang hukum yang berlaku di Indonesia, nikah sirri merupakan perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No.1/1974 Jo. Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) KHI, suatu perkawinan di samping harus dilakukan secara sah menurut hukum agama, juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian, dalam perspektif peraturan perundang-undangan, nikah sirri adalah pernikahan yang tidak mempunyai kekuatan hukum.
Perkawinan yang tidak memiliki kekuatan hukum berdampak yuridis terhadap hak-hak pelayanan publik oleh instansi yang berwenang bagi pelakunya. Mereka tidak memperoleh perlindungan dan pelayanan hukum oleh instansi yang berwenang sebagaimana mestinya. Perkawinan mereka tidak diakui dalam daftar kependudukan, bagi anak-anak mereka tidak dapat memperoleh akte kelahiran dan seterusnya. Dengan kata lain, pernikahan sirri banyak membawa madharat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sedangkan mencatatkan perkawinan lebih banyak mendatangkan manfaat bagi masyarakat dan bangsa.
Peraturan perundang-undangan menentukan bahwa setiap perkawinan harus dilakukan di hadapan pejabat dan dicatat dalam register yang disediakan untuk itu. Keharusan dilaksanakan di hadapan pejabat dan dicatat dikandung maksud agar tercipta ketertiban dan kepastian hukum, sehingga setiap warga negara yang melangsukan perkawinan selain sah secara syariat Islam juga mendapat perlindungan hukum negara. Perkawinan merupakan awal terbentuknya unit keluarga terkecil dari sebuah bangsa besar Indonesia. Oleh karena itu penguatan aturan hukum perkawinan merupakan keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Pandangan masyarakat terhadap “nikah sirri adalah perbuatan yang sah-sah saja” perlu diluruskan agar tidak menjadi preseden buruk bagi generasi masa depan. Wallahu a’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H