Mohon tunggu...
Muhammad Ilyas
Muhammad Ilyas Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Saya merupakan mahasiswa Sejarah Peradaban Islam Universitas Islam Sunan Gunung Djati Bandung, saya minat dalam berproses untuk menuju hidup lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Komunis di Kota Santri: Politik Lokal Kotagede Pada 1950-1960an

26 Desember 2023   00:31 Diperbarui: 26 Desember 2023   02:02 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kotagede yang dalam sumber-sumber sejarah sering disebut dengan nama Sargede atau Pasargede merupakan sebuah kota kecil yang terletak di bagian tenggara Kota Yogyakarta. Kota ini lama dikenal sebagai kota santri karena mayoritas penduduknya merupakan pemeluk Islam yang taat dan pengikut setia organisasi keagamaan Muhammadiyah. Sejak zaman kolonial, sebagian penduduk Kotagede sudah tertarik dengan organisasi keagamaan berbasiskan Islam serta organisasi politik.

Setelah kemerdekaan, khususnya pada paruh pertama 1950-an, ketika partai-partai politik di Indonesia berkembang dengan pesat sebagai persiapan perannya dalam pemilihan umum pertama pada 1955 dan ketika partai-partai politik turun ke bawah untuk mencari 'massa', beberapa partai politik menunjukkan kekuatannya di Kotagede. Pada era 1950-an, bukan hanya Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai partai terbesar di Indonesia yang mewakili kepentingan politik Islam, berhasil menjadi kekuatan politik di Kotagede dan partai lain pun ikut berperan dan menjadi besar di Kotagede.

Di Kotagede, pertentangan politik lokal tampak dari persaingan antara PKI dan Masyumi, mereka saling mencari pengaruh untuk meraih massa sebanyak-banyaknya dari penduduk Kotagede. Kotagede didirikan oleh Ki Ageng Pamanahan dan putranya, Danang Sutawijaya (Panembahan Senopati), yang kemudian menjadi raja pertama Mataram pada 1586. Sebelumnya, Kotagede merupakan kawasan hutan Mentaok yang termasuk wilayah kerajaan Pajang, tentu saja hal ini menjadi menarik untuk dicermati dan dikaji.

Kotagede Sebagai Kota Kerajinan Bagi masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, Kotagede dikenal sebagai kota lama karena kota ini pernah menjadi pusat Kerajaan Mataram Islam. Selain itu, Kotagede dikenal sebagai pusat kerajinan perak karena jenis kerajinan ini dikerjakan oleh mayoritas penduduk Kotagede walaupun bahan baku utama pembuatan perak harus didatangkan dari daerah lain (Cikotok, Jawa Barat). Jika dirunut sejarahnya, asal mula kerajinan perak masuk ke Kotagede belum diketahui dengan pasti. Hanya kemudian diketahui bahwa kerajinan perak berkembang menjadi sebuah industri di Kotagede ketika Sultan Hamengkubuwona VIII (1921-1939) memerintah di Kesultanan Yogyakarta. Akan tetapi, memasuki 1930-an kejayaan industri perak mulai menurun. Bahkan, banyak pengusaha perak yang beralih usaha ke kerajinan tembaga, kuningan, dan aneka kerajinan lain dari logam serta tulang hewan.

Barang perak dengan desain baru yang lebih sesuai dengan selera orang Eropa mulai juga dikembangkan karena pasar luar negeri paling menjanjikan pada masa itu. Perkembangan kerajinan perak pada 1920-1930 membuat masyarakat Kotagede dinamis. Perdagangan barang kerajinan dilakukan sampai jauh ke luar Kotagede, yang kemudian mampu menciptakan kalangan atas setempat yang makmur.

Sebagian pengusaha perak sampai saat ini beberapa penduduk Kotagede masih mengabdikan diri ke keraton, Yogyakarta dan Surakarta, sebagai abdi dalem juru kunci (penjaga makam raja dan kerabat raja). Peninggalan zaman Mataram Islam yang terdapat di Kotagede berupa sisa tembok (benteng) keraton, masjid besar Mataram, pemandian Sendang Selirang, serta makam raja dan kerabat kerajaan sebelum era Sultan Agung.

Politik lokal kotagede berhasil dalam usahanya dan menjadi sangat kaya. Kemakmuran pada masa itu diperlihatkan dalam besarnya rumah-rumah mereka yang dibangun dengan corak mewah gaya Art Deco yang sebagian masih berdiri sampai sekarang. Sebagian pengusaha Kotagede yang berpikiran maju juga memanfaatkan kekayaannya untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke luar Kotagede, seperti ke Sekolah Pendidikan Guru Muhammadiyah di Yogyakarta dan bahkan hingga ke luar negeri. Seiring dengan perkembangan sektor kerajinan, jumlah penduduk Kotagede yang mencari nafkah sebagai buruh di luar sektor pertanian lama kelamaan menjadi semakin besar.

Betapa pentingnya kerajinan secara umum dan kerajinan perak secara khusus sebagai sumber nafkah bagi penduduk Kotagede pada awal 1920-an dapat dilihat dari tabel berikut (Van Mook 1958: 289). Pengrajin perak masuk dalam kategori pedagang dan pekerja di bidang kerajinan logam dan batu mulia. Meskipun demikian, dalam kondisi tertentu mereka yang bekerja sebagai pengrajin tembaga-kuningan dan aneka barang lain. Orang luar yang mengunjungi Kotagede pada 1938 mengamatinya seperti berikut: "Di Kotagede inilah tempatnja 'Radja-radja' uang jang menurut pendengaran kita bukan tidak ada diantaranja jang milliunir”

Pemuda Kotagede yang menuntut ilmu di negeri Belanda adalah Zubair dan Jalal Muchsin (putra H. Muchsin, seorang pedagang kaya di Kotagede), Sapardi (kakak kandung H. M. Rasjidi), serta Kasmat Bahuwinangun (anak juragan kaya Bahuwinangun), yang kemudian menjadi tokoh Partai Islam Indonesia. Masa 1930-an industri kerajinan perak ikut mengalami kemunduran sebagai dampak krisis dunia. Bahkan, pada masa pendudukan Jepang kerajinan perak bisa dikatakan hampir mati (Nakamura 1983: 133).

Pecahnya Perang Pasifik pada 8 Desember 1941 antara Jepang dan Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, Cina, dan Belanda) berdampak pula secara langsung pada kerajinan perak di Kotagede. Sesudah perang berakhir, kerajinan perak berusaha bangkit politik lokal kotagede. Organisasi Sosial dan Partai Politik Masuk Kotagede (1910-1950) Selain dikenal sebagai kota kerajinan, Kotagede dikenal sebagai wilayah yang memiliki dinamika sosial dan politik yang cukup maju.

Hal itu tampak dari beragamnya organisasi sosial politik yang lahir dan menjadi besar di Kotagede. Di kalangan komunitas Muslim, organisasi sosial pertama yang ada di Kotagede adalah Syarekatul Mubtadi.9 Organisasi ini merupakan organisasi lokal yang didirikan oleh beberapa orang Islam Kotagede pada awal 1910-an. Keunikan dari Syarekatul Mubtadi adalah organisasi ini memiliki bagian khusus yang bertugas memberikan pendidikan kepada para pemuda Kotagede.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun