Mohon tunggu...
Muhammad Ilham Noor
Muhammad Ilham Noor Mohon Tunggu... Guru - Guru paruh waktu

strive for your dreams

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Manusia dalam Kostum (1)

27 Desember 2020   19:48 Diperbarui: 27 Desember 2020   19:55 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dari beranda depan rumahku, cuaca hari ini terlihat sangat baik. Langit biru dengan banyak gumpalan-gumpalan awan cumulus. Ibu bilang pagi ini akan cerah, informasi yang diperoleh dari menonton ramalan cuaca di TV. 

Sebenarnya aku tidak pernah percaya dengan ramalan cuaca. Tapi karena ibu yang bilang pagi ini akan cerah, aku percaya saja, perkataan ibu sudah pasti makbul.

Sudah entah berapa jumlah awan cumulus yang ku hitung, tapi tetap saja bapak belum menunjukkan dirinya. Pagi ini bapak sudah memiliki janji denganku. Lelah menunggu lama, aku mencoba melihat kedalam rumah apa yang sedang bapak lakukan.

 "Cepat pak!"

Seruku dengan semangat kepada bapak yang tengah sibuk menyemir sepatu kulit asli favoritnya. Dilengkapi jam tangan mekanik yang sesekali digoyang agar dapat terus berdetak dan kemeja biru pekat lengan pendek yang kemarin disetrika oleh ibu. Hey, lihatlah tampilan bapak hari ini. Persis seperti kepala desaku yang baru saja dilantik minggu lalu.

"Haduh pak, nanti kita telat!" lagi-lagi aku menyeru bapak agar segera bergegas.

Bapak memang selalu terlihat sangat tenang, bahkan di hari sepenting ini. Setelah memastikan ikatan tali disepatunya sudah cukup kuat, bapak kemudian melihat jam mekanik dilengan kirinya.

"Ini baru jam 7 pagi nak, kenapa kamu tidak pergi bersama ibumu saja seperti tahun-tahun sebelumnya?!" ucap bapak ketus.

 Aku selalu tahu bagaimana sikap bapak ketika kesal, seperti apa mimik wajahnya ketika marah dan semua gerak-gerik bapak. Aku tahu persis itu semua. Jadi sangat mudah bagiku menebak suasana hati bapak sekarang. 

Wajahnya kali ini tampak semakin kesal setelah mengingat lagi surat undangan dari sekolah yang kemarin aku berikan. Pada surat itu tertera dengan jelas pukul berapa kegiatan akan dimulai. PUKUL 09.00 WIB. Ya, 2 jam dari sekarang.

"Yaaaaah, kalau pergi dengan ibu, bisa-bisa sampai besok pagi juga belum sampai ke sekolah. Lagian ibu juga sudah pergi ke tempat kerjanya dan yang terpenting adalah teman-temanku sudah sangat penasaran dengan bapak"

Aku mencoba sedikit merayu bapak agar membuatnya senang. Meskipun aku mencoba merayu, tapi apa yang aku katakan adalah benar. Pertama, bapak adalah jawara didesaku. 

Sebut saja nama bapak, maka preman paling seram sekalipun akan berubah layaknya anak kecil. Nama bapak sangat terkenal didesaku bahkan kemahsyurannya terdengar sampai ke desa tetangga, jadi tidak heran kalau teman-teman sebayaku sangat ingin melihat bapak secara langsung. 

Kedua, Ibu adalah pengendara sepeda motor yang sangat berhati-hati. Jika didunia ini ada kompetisi balapan sepeda motor dengan kategori kecepatan tidak melebihi 30 Km/jam. Maka dapat aku pastikan, ibu akan menjadi juara dunianya.

Pagi ini, seperti biasanya, Ibu selalu bangun lebih dahulu diantara penghuni rumah lainnya. Bahkan saat si jago, ayam milikku, belum berkokok. Ibu sudah mulai menyiapkan segala kebutuhan untuk aku dan bapak. 

Permintaan jahitan di toko tempat ibu bekerja sedang banyak-banyaknya, puluhan kodi kain harus ibu dan rekan kerjanya selesaikan dalam beberapa minggu ini. Perihal permintaan jahitan ini, pagi sekali ibu sudah berangkat ke tempat kerjanya, meninggalkan aku dan bapak di rumah. 

"Baiklah nak, hanya untuk hari ini saja bapak menemanimu" balas bapak cepat sambil meraih kunci untuk membuka garasi. Aku dapat melihat rasa kesal bapak yang sedikit berkurang, manjur juga rayuanku.

Sebenarnya ini adalah kali ketiga aku meminta bapak. Dan tidak bisa tidak, hari ini bapak harus menemaniku. Sejak kemarin, sepanjang hari aku tidak berbicara dengan bapak. Ini aku lakukan sebagai bentuk upaya agar bapak bersedia melakukannya. 

Jika ingin berbicara kepada bapak, aku meminta ibu sebagai perantara untuk mengatakannya. Maka jadilah Ibu seperti petugas pengantar pesan yang sangat sibuk menerima orderan. Menyampaikan ucapanku kepada bapak dan sebaliknya.

Tapi sayangnya, peran petugas pengantar pesan ini tidak bertahan lama. Saat ibu yang sedang mengatakan "pesan" kepada bapak mulai terlihat kesal. Maka tanpa harus menunggu komando, aku dan bapak langsung sepakat untuk berdamai dan berperilaku seperti biasanya. 

Jika ibu marah, maka selesailah sudah. Aku dan bapak paham sekali apa yang akan terjadi jika ibu marah, telinga dan perut kami akan menjadi korban utamanya. 

Untungnya, untuk menunjukkan kepada ibu bahwa kami betul-betul berdamai, bapak mengatakan bersedia untuk menemaniku ke sekolah. Pilihan yang tepat. Seketika wajah ibu berubah seperti semula.

Itulah kenapa pagi ini, aku yang sudah berpakaian sekolah, memanggil bapak dengan penuh semangat dari beranda depan rumah agar bergegas untuk mengantarkan sekaligus menemaniku. Tanpa menunggu lebih lama lagi, bapak segera mengeluarkan sepeda motor miliknya dari garasi. Memanaskan mesinnya terlebih dahulu, mengecek kondisi ban dan memastikan komponen lainnya berfungsi dengan baik.

"Baik nak, ayo kita berangkat"

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun