Philosophia merupakan akar kata dari kata filsafat yang berasal dari Bahasa Yunani. Kata philosophia merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua kata yaitu Philos dan Sophia. Jika kata Philos berarti cinta, maka kata Sophia berarti kebijaksanaan, kearifan, dan bisa juga berarti pengetahuan. Jadi secara harfiah, filsafat berarti mencintai kebijaksanaan. Sedangkan subjek yang mencintai kebijaksanaan dalam tradisi Yunani klasik disebut dengan philosophos (atau filsuf dalam Bahasa Indonesia).Â
Namun, dalam tradisi Yunani klasik, cakupan makna kata Sophia ternyata sangat luas. Pada masa itu, Sophia bukan hanya berarti kearifan, kebijaksanaan, atau pengetahuan semata, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan yang luas, kebajikan intelektual, pertimbangan yang sehat sampai kepandaian pengrajin, dan bahkan kecerdikan dalam memutuskan soal-soal praktis.
Kemudian faktor apa yang menyebabkan filsafat muncul dan mewarnai hampir seluruh kehidupan manusia? Ada sejumlah faktor yang memotivasi manusia untuk berfilsafat.Â
Pertama, ketakjuban. Banyak filsuf mengatakan bahwa yang menjadi awal kelahiran filsafat adalah thaumasia (kekaguman, keheranan, atau ketakjuban). Dalam karyanya yang berjudul Metafisika, Aristoteles mengatakan bahwa karena ketakjuban manusia mulai berfilsafat.Â
Pada mulanya manusia takjub memandang benda-benda aneh di sekitarnya, lama-kelamaan ketakjubannya semakin terarah pada hal-hal yang lebih luas dan besar, seperti perubahan dan peredaran bulan, matahari, bintang-bintang, dan asal mula alam semesta.
Istilah ketakjuban menunjuk dua hal penting, yaitu bahwa ketakjuban itu pasti memiliki subjek dan objek. Jika ada ketakjuban, sudah tentu ada yang takjub dan ada sesuatu yang menakjubkan. Ketakjuban hanya mungkin dirasakan dan dialami oleh makhluk yang selain berperasaan juga berakal budi. Makhluk yang seperti itu sampai saat ini yang diketahui hanyalah manusia. J
adi, yang takjub adalah manusia. Jika subjek dari ketakjuban itu manusia, apakah yang menjadi objek ketakjuban itu? Objek ketakjuban ialah segala yang ada dan yang dapat diamati. Itulah sebabnya, bagi Plato pengamatan terhadap bintang-bintang, matahari, dan langit merangsang manusia untuk melakukan penelitian. Penelitian terhadap apa yang diamati demi memahami hakikatnya itulah yang melahirkan filsafat. Pengamatan yang dilakukan terhadap objek ketakjuban bukanlah hanya dengan mata, melainkan dengan akal budi.Â
Pengamatan akal budi tidak terbatas hanya pada objek-objek yang dapat dilihat dan diraba, melainkan juga terhadap benda-benda yang dapat dilihat, tetapi tidak dapat diraba, bahkan terhadap hal-hal yang abstrak, yaitu yang tak terlihat dan tak teraba. Oleh karena itu pula, Immanuel Kant bukan hanya takjub terhadap langit berbintang-bintang di atas, melainkan juga terpukau memandang hokum moral dalam hatinya, sebagaimana yang tertulis dalam kuburannya : coelum stellatum supra me, lex moralis intra me (bintang di langit di atasku, tapi hukum moral ada di bawahku).
Kedua, ketidakpuasan. Sebelum filsafat lahir, berbagai mitos dan mite memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Berbagai mitos dan mite berupaya menjelaskan asal mula dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam semesta serta sifat-sifat peristiwa itu. Akan tetapi, ternyata penjelasan dan keterangan yang diberikan oleh mitos-mitos dan mite-mite itu makin lama tidak memuaskan manusia.Â
Ketidakpuasan itu membuat manusia terus-menerus mencari penjelasan dan keterangan yang lebih pasti dan meyakinkan. Kenyataannya memang demikian. Ketidakpuasan akan membuat manusia melepaskan segala sesuatu yang tak dapat memuaskannya, lalu ia akan selalu berupaya menemukan apa yang dapat memuaskannya.
Ketiga, hasrat bertanya. Ketakjuban manusia telah melahirkan pertanyaan-pertanyaan dan ketidakpuasan manusia dalam membuat pertanyaan-pertanyaan itu tak kunjung habis.Â