Pertanyaan tak boleh dianggap sepele karena pertanyaanlah yang membuat kehidupan serta pengetahuan manusia berkembang dan maju. Pertanyaanlah yang membuat manusia melakukan pengamatan, penelitian, dan penyelidikan. Ketiga hal itulah yang menghasilkan penemuan baru yang semakin memperkaya manusia dengan pengetahuan yang terus bertambah. Karena itu, pertanyaan merupakan sesuatu yang hakiki bagi manusia.
Keempat, keraguan. Manusia selaku penanya mempertanyakan sesuatu dengan maksud untuk memperoleh kejelasan dan keterangan mengenai sesuatu yang dipertanyakannya itu.
Tentu saja hal itu berarti bahwa apa yang dipertanyakannya itu tidak jelas atau belum terang. Karena sesuatu itu tidak jelas atau belum terang, manusia perlu dan harus bertanya. Pertanyaan yang diajukan untuk memperoleh kejelasan dan keterangan yang pasti pada hakikatnya merupakan suatu pernyataan tentang adanya aporia (keraguan atau ketidakpastian dan kebingungan) di pihak manusia yang bertanya.
Kembali kita menilik tentang apa itu filsafat. Secara umum filsafat merupakan sebuah kegiatan pencarian dan petualangan tanpa henti mengenai makna kebijaksanaan dan kebenaran dalam pentas kehidupan, baik tentang Tuhan Sang Pencipta, eksistensi dan tujuan hidup manusia, maupun realitas alam semesta.
Karena kegiatan pencarian itu tidak pernah final, tidak pernah membuahkan sebuah pencapaian kebijaksanaan dan kebenaran secara komprehensif (sempurna), maka setiap orang yang berfilsafat harus bertindak rendah hati.
Masih ada semesta makna kearifan dan kebenaran tak terpahami; masih ada kebijaksanaan yang tersisa, masih ada jejak makna yang belum kita mengerti. Sehingga filsafat menjadi sebuah undangan tak berkesudahan terhadap kebijaksanaan.
Namun sampai disini, terbentang pertanyaan yang menggoda. Lalu apakah makna kebijaksanaan itu? Filsuf adalah orang yang mencinta dan mendamba sekaligus telah mencecap secercah makna kebijaksanaan.
Lalu apa juga maknanya ketika kita berbicara tentang orang yang bijaksana? Kebijaksanaan bukan hanya miliki seorang ilmuwan yang ahli dalam salah satu lapangan ilmu pengetahuan. Begitu pula, orang yang telah mengerti banyak hal, orang yang telah menguasai berbagai ilmu pengetahuan belum tentu menjadi orang yang bijaksana.
Kebijaksanaan adalah lebih dari sekedar ilmu pengetahuan. Seseorang baru disebut bijaksana apabila ia mempunyai pengertian yang mendalam mengenai arti dan nilai sesungguhnya daripada barang-barang, mengenai arti dan nilai hidup, arti dan nilai manusia, apabila ia mendasarkan pendapat dan pandangannya tidak atas pertimbangan-pertimbangan yang dangkal saja, tetapi melihat, merasa, memerhatikan, arti yang terdalam dari semuanya.
Dengan demikian secara garis besar, bijaksana mengandung dua makna yang tidak bisa dipisahkan antara keduanya. Pertama, mempunyai insight yakni pengertian yang mendalam, yang meliputi seluruh kehidupan manusia dalam segala aspeknya dan seluruh dunia dengan segala lapangannya, dan hubungan-hubungan antara semuanya itu. Kedua, sikap hidup yang benar, yang baik, dan yang tepat, berdasarkan pengertian tadi, yang mendorong akan hidup, yang sesuai dengan pengertian yang dicapai itu.
Pada titik inilah seorang filsuf sejatinya adalah orang yang memiliki wawasan yang luas dan mendalam sekaligus mampu mengamalkan wawasan tersebut dalam tataran praktis secara tepat, benar, dan kontekstual. Sehingga pantas disebut orang yang selalu mendamba sekaligus mencicipi kebijaksanaan hidup. Orang-orang yang seperti itulah yang memang pantas dimahkotai kebijaksanaan; sebagai orang-orang yang bijaksana.