Akreditasi. Kata ini mungkin sudah tidak asing lagi di dunia pendidikan kita. Bagi banyak orang, terutama calon mahasiswa dan orang tua, akreditasi sering dijadikan acuan untuk menilai kualitas sebuah institusi pendidikan. Label "unggul" pada sebuah institusi seolah menjadi jaminan bahwa kualitas pendidikan yang ditawarkan benar-benar yang terbaik. Namun, benarkah label tersebut mencerminkan kenyataan di lapangan? Atau sekadar formalitas yang diisi dengan data administratif dan kesan sesaat?
Saya pernah menyaksikan sendiri bagaimana sebuah institusi pendidikan yang mengklaim memiliki akreditasi "unggul" melakukan berbagai hal yang, menurut saya, tidak lebih dari sekadar "gimmick." Perbaikan ruang kelas yang mendadak, fasilitas yang tiba-tiba disediakan hanya untuk dinilai, bahkan beberapa program mahasiswa yang diadakan secara terburu-buru. Semua itu tampak baik di permukaan, namun setelah penilaian selesai, kegiatan di dalam institusi tersebut kembali seperti semula. Fasilitas yang sebelumnya ramai penggunaannya mendadak sepi, dan program-program mahasiswa yang tampak sibuk menjadi layu.
Ini membuat saya bertanya: Apakah label akreditasi unggul benar-benar menjamin kualitas yang diterima mahasiswa? Atau hanya angka di atas kertas?
Akreditasi: Antara Standar dan Realita
Sebelum kita membahas lebih jauh, mari kita pahami terlebih dahulu apa itu akreditasi. Secara umum, akreditasi adalah proses penilaian untuk menentukan apakah sebuah institusi pendidikan memenuhi standar tertentu. Biasanya, tim akreditasi akan datang dan menilai berbagai aspek, seperti kurikulum, fasilitas, mutu pengajaran, dan lainnya. Idealnya, jika sebuah institusi pendidikan mendapatkan akreditasi unggul, itu berarti institusi tersebut telah memenuhi standar pendidikan yang tinggi.
Namun, kenyataannya di lapangan sering kali berbeda. Proses akreditasi ini kadang-kadang hanya fokus pada tampilan luar. Yang dinilai lebih banyak adalah dokumen, laporan, dan catatan administratif, sementara aspek-aspek yang lebih relevan dengan kualitas pengalaman belajar sehari-hari, seperti interaksi mahasiswa dengan dosen atau fasilitas yang sebenarnya digunakan, seringkali terabaikan.
Di beberapa institusi pendidikan, ada kecenderungan untuk melakukan perbaikan hanya menjelang masa akreditasi. Ruang kelas diperbaiki, perpustakaan direnovasi, dan laboratorium ditambah peralatannya hanya untuk memenuhi standar yang diinginkan tim penilai. Namun, setelah penilaian selesai, banyak dari fasilitas dan program tersebut tidak lagi berfungsi optimal atau bahkan diabaikan. Mahasiswa, yang seharusnya merasakan manfaat dari perbaikan ini dalam jangka panjang, akhirnya tidak mendapatkan apa yang dijanjikan oleh label "unggul" tersebut.
Kesenjangan yang Dirasakan Mahasiswa
Mahasiswa adalah kelompok yang paling terdampak dari kesenjangan antara label akreditasi dan realita di lapangan. Di atas kertas, mereka mungkin terdaftar di institusi pendidikan dengan akreditasi "unggul," tetapi pengalaman sehari-hari yang mereka dapatkan sering kali jauh dari kata "ideal." Misalnya, laboratorium yang ditampilkan sebagai fasilitas canggih selama penilaian akreditasi, dalam kenyataannya jarang digunakan atau peralatan di dalamnya tidak memadai. Buku-buku di perpustakaan yang ditata rapi saat penilaian sering kali ketinggalan zaman atau jumlahnya terlalu terbatas.
Selain itu, kualitas pengajaran juga bisa menjadi masalah. Beberapa dosen yang tercatat memiliki kualifikasi tinggi mungkin hanya memenuhi syarat administratif, tetapi tidak selalu memberikan materi yang relevan atau bimbingan yang memadai kepada mahasiswa. Banyak mahasiswa merasa bahwa meskipun mereka belajar di institusi dengan akreditasi unggul, pengalaman pendidikan yang mereka terima terasa jauh dari standar yang diharapkan.
Lebih buruk lagi, kesenjangan ini sering kali berdampak pada kesiapan lulusan untuk memasuki dunia kerja. Di satu sisi, mereka lulus dari institusi yang berlabel "unggul," tetapi di sisi lain, keterampilan dan pengetahuan yang mereka peroleh tidak selalu sejalan dengan kebutuhan industri. Kesenjangan ini menimbulkan pertanyaan serius: Apa gunanya akreditasi unggul jika mahasiswa tidak mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna?