Ciri-ciri ini bersumber dari Pidato kebudayaan Mochtar Lubis tahun 1977 di Taman Ismail Marzuki yang telah dibukukan berjudul Manusia Indonesia.
Sebetulnya ada 6 ciri dan berbagai ciri-ciri lainnya yang dikemukakan oleh Mochtar Lubis, keenam ciri tersebut adalah munafik, enggan bertanggungjawab, feodal, percaya takhayul, berjiwa artistik dan berwatak lemah.
Saya bermaksud meringkas dan membahasnya hanya pada 3 ciri awal yang disebutkan, dengan memperbarui contoh-contoh yang saya temui sendiri dari pengalaman sehari-hari.
1. Munafik/Hipokrit
"Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama." - Kutipan Halaman 23
Sifat ini, menurut analisa Mochtar Lubis berakar dari sistem feodal di masa lampau yang menekan kehendak atau perkataan yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh manusia Indonesia.
Ketakutan untuk berterus terang menjadi sumber dari sifat kemunafikan.
Apa yang dicontohkan oleh Mochtar Lubis, seperti pura-pura alim tetapi menyukai konten porno, sikap mengutuk korupsi tetapi dia sendiri seorang koruptor, hari ini kita masih menemukan contoh tersebut.
Setiap kontestasi politik nasional maupun daerah, kita seringkali juga menjumpai banyak kemunafikan.
Penilaian dan respon orang terhadap kesalahan atau perbuatan paslon yang dilakukan bisa sangat berbeda, walaupun kesalahan yang dilakukan persis sama.
Di jalan, kita sering melihat pelanggaran lalu lintas, walaupun barangkali orang yang melanggar tersebut menggerutu dan menuntut penegakan hukum yang adil.
Beberapa waktu yang lalu, kita juga melihat banyaknya pembelaan dan pembenaran terhadap kasus joki kuliah, meskipun mungkin orang yang membela joki ini juga adalah orang yang sama lantangnya mengkritik korupsi.
Akibat dari kemunafikan, menyebabkan tumbuh suburnya sifat ABS (Asal Bapak Senang).
"Yang berkuasa senang di-ABS-kan oleh yang diperintahnya dan yang diperinntah senang meng-ABS-kan atasannya." -Kutipan halaman 25
2. Enggan Bertanggungjawab
"Bukan saya, adalah kalimat yang cukup populer pula di mulut manusia Indonesia." - Kutipan Halaman 26
Contoh sikap ini sangat mudah dicari. Tidak hanya pada level pejabat, di dunia kerja, atau dalam lingkup pertemanan pun seringkali kita menemukan sikap tersebut.
Dalam tahun ini saja, kita bisa dengan fasih menyebutkan berbagai kasus atau peristiwa yang merugikan masyarakat banyak, tanpa ada pejabat yang maju ke depan publik, mengakui kesalahannya dan bertanggung jawab untuk mundur.
Sebaliknya, untuk urusan yang sukses dan menghasilkan prestasi. Meskipun sebetulnya pejabat tersebut tidak punya andil, tanpa malu-malu, ia akan tampil paling depan untuk berfoto dan menerima penghargaan.
3. Feodal
"Raja ganti nama jadi presiden, menteri, jenderal, sekretaris jenderal, direktur jenderal, rektor, gubernur, presiden direktur, dan sebagainya. Meskipun bentuk-bentuknya sudah berubah, akan tetapi pada hakekatnya hubungan-hubungan dan sikap-sikap feodal ini masih hidup dalam diri manusia Indonesia." - Kutipan Halaman 30
Sikap ini sering kita temukan dalam dunia kerja, terkusus dunia birokrasi.
Atasan tidak suka mendengar kritik, bawahan juga segan menyampaikan ide atau krtitik, sendiko dawuh ganti nama menjadi mohon izin, mohon perkenannya, beserta dengan emoticon wajib.
Bawahan seringkali menghormati atasan secara berlebihan, sehingga menyebabkan pengkultusan dan pembiaran terhadap kesalahan yang dibuat oleh atasannya.
Dalam dunia akademik, kita juga sering disulitkan dengan keterampilan merangkai kata-kata terbaik untuk sekadar berkomunikasi dengan dosen.
Sistem yang kaku dan terlalu hierarkis seperti ini akan memperlambat proses komunikasi dan membuat budaya ABS semakin hidup.
Masih banyak ciri lainnya yang belum dibahas dalam tulisan ini, anda dapat mengetahui lebih lengkap dengan membaca buku tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H